Senin, 05 April 2010

Analisis Peranan Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi (Anonim, 2007).

Di dalam Pasal 4 UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional disusun sebagai penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bentuk visi, misi dan arah pembangunan nasional. RPJP Nasional digunakan sebagai pedoman dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional yang memuat strategi pembangunan nasional, kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh dan lainnya. RPJM Nasional ditempuh melalui Strategi Pokok yang dijabarkan dalam Agenda Pembangunan Nasional memuat sasaran-sasaran pokok yang harus dicapai, arah kebijakan, dan program-program pembangunan (Anonim, 2005). RPJM sebagaimana tersebut di atas dijabarkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang merupakan rencana pembangunan tahunan nasional, yang memuat prioritas pembangunan nasional, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh.

Perencanaan pembangunan daerah merupakan satu entitas dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan daerah dijadikan sebagai satu kebijakan publik (public policy) pemerintah yang penting, yaitu sebagai pernyataan tujuan-tujuan dan cita-cita yang mengambarkan keseluruhan arah dari aktivitas-aktivitas pembangunan yang diyakini sebagai sesuatu yang normatif (BAPPEDA, 2005).

Sebagai dokumen perencanaan lima tahunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan memperhatikan RPJM Nasional. RPJM Daerah adalah bagian dari RPJP Daerah yang berkedudukan sebagai dokumen perencanaan induk dengan periode waktu 20 (dua puluh) tahunan. RPJM Daerah dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja, dan pendanaanya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat (BAPERLITBANGDA, 2005).

Pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas dan menciptakan lapangan kerja, memeratakan pembagian pendapatan kepada masyarakat dan meningkatkan hubungan ekonomi regional. Salah satu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi regional adalah memberikan otonomi kepada daerah untuk menyelenggarakan program-program pembangunan regional, sehingga seluruh pertanggungjawaban, pengelolaan dan pembiayaannya dilakukan oleh pemerintah daerah yang tertuang dalam UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 yang diperbarui menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Sejalan dengan otonomi daerah, maka perekonomian suatu daerah perlu ditingkatkan demi tercapainya pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Perekonomian tersebut antara lain diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Menurut Reksoprayitno (2000), PDRB secara umum merupakan salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan wilayah antara lain: mengukur laju pertumbuhan ekonomi wilayah secara sektoral, mengetahui struktural perekonomian suatu wilayah dan dapat dipakai untuk mengukur elastisitas penyerapan tenaga kerja setiap sektor.

Selanjutnya pembangunan harus direncanakan sesuai dengan potensi-potensi yang dimiliki tiap wilayah. Dalam hal ini, kemampuan pemerintah daerah untuk melihat sektor yang memiliki keunggulan/kelemahan di wilayahnya menjadi semakin penting. Sektor yang memiliki keunggulan, memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk berkembang. Dari sisi pemerintah, sektor ekonomi potensial lebih dipandang sebagai sektor yang mampu memberi kontribusi terbesar terhadap perekonomian daerah (PDRB), kestabilan dalam pertumbuhan dan daya serap tenaga kerja yang tinggi (Syahrir, 1995).

Provinsi Jambi merupakan salah satu daerah yang yang struktur perekonomiannya masih bercorak agraris, di mana sebagian besar kegiatan ekonominya masih bertumpu pada sektor pertanian. Ini menunjukkan bahwa perekonomian Provinsi Jambi masih didukung penuh oleh sektor pertanian, yang terlihat dari besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB. Dari data PDRB tahun 2001 sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 31,29 %, tahun 2002 sebesar 30,99 %, tahun 2003 sebesar 30,57 %, tahun 2004 sebesar 30,48 %, tahun 2005 sebesar 30,20 %, dan tahun 2006 sebesar 31,75 % serta tahun 2007 sebesar 31,09 % (dihitung berdasarkan PDRB Provinsi Jambi tahun 2001-2007 ADHK 2000) (lampiran 1-7).

Selain memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap PDRB, sektor pertanian juga berperan besar dalam penyerapan tenaga kerja yang terbukti pada tahun 2002 sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja sebesar 61,19 % atau sebesar 669.639 orang dari total tenaga kerja di Provinsi Jambi, tahun 2003 sebesar 64,86 % atau sebesar 708.161 orang dari total tenaga kerja di Provinsi Jambi, tahun 2004 sebesar 65,41 % atau sebesar 743.971 orang dari total tenaga kerja di Provinsi Jambi, tahun 2005 sebesar 57,55 % atau sebesar 631.399 orang dari total tenaga kerja di Provinsi Jambi, dan pada tahun 2007 sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja sebesar 57,74 % atau sebesar 662.143 orang dari total tenaga kerja di Provinsi Jambi (lampiran 8).

Selanjutnya dalam pola umum pembangunan Provinsi Jambi dijelaskan bahwa sektor pertanian merupakan sektor prioritas dalam pembangunan daerah. Dijadikannya sektor pertanian sebagai sektor prioritas tidak terlepas dari potensi yang dimiliki oleh Provinsi Jambi di sektor pertanian yang tersebar hampir merata di setiap daerah tingkat II (Erfit, 2000).

Dengan berpedoman kepada PDRB kabupaten dan kota di Provinsi Jambi didapat gambaran bahwa hampir seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Jambi menggantungkan pembentukan PDRBnya pada sektor pertanian terutama sub sektor tanaman bahan makanan dan sub sektor tanaman perkebunan. Adapun daerah tersebut adalah Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Merangin, Kabupaten Tebo, Kabupaten Bungo, dan Kabupaten Kerinci. Sedangkan Kabupaten Tanjung Jabung Barat menggantungkan pembentukan PDRBnya pada sektor industri pengolahan, Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada sektor pertambangan dan penggalian, dan Kota Jambi pada sektor perdagangan, hotel dan restoran (lampiran 1-7).

Ketergantungan daerah-daerah tersebut diatas dalam pembentukan PDRB terhadap sektor pertanian dapat dilihat dari kontribusinya, yang mana untuk daerah kabupaten berkisar antara 22 %–59 % tahun 2001 dan 23 %-51 % tahun 2007 (dihitung berdasarkan PDRB masing-masing kabupaten di Provinsi Jambi ADHK 2000) (lampiran 1-7). Hal ini berarti untuk daerah kabupaten kontribusinya adalah lebih tinggi dibandingkan kontribusi sektor pertanian pada tingkat nasional (Provinsi Jambi) yang hanya 31,29 % pada tahun 2001 dan 30,09 % pada tahun 2007 (dihitung berdasarkan PDRB Provinsi Jambi ADHK 2000) (lampiran 1-7).

Dari persentase di atas sedikitnya dapat diperoleh gambaran mengenai kondisi perekonomian daerah yang bersangkutan, yang umumnya bercorak agraris dengan arti kata hampir seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jambi struktur perekonomiannya tidak seimbang antara sektor pertanian dengan sektor-sektor lainnya. Selanjutnya kenyataan ini menimbulkan pendapat umum bahwa daerah-daerah di Provinsi Jambi mempunyai potensi pada sektor pertanian secara luas yang berarti sebagian besar daerah-daerah di Provinsi Jambi mempunyai keuntungan lokasi pada sektor pertanian.

Menurut Sjafrizal 2008, keuntungan lokasi tersebut ditentukan oleh ongkos transport baik untuk bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Oleh karena itu pemilihan lokasi kegiatan ekonomi dan sosial, serta interaksi antar wilayah menjadi penting dalam analisa ekonomi, karena pemilihan lokasi yang baik akan dapat memberikan penghematan yang sangat besar untuk ongkos angkut sehingga mendorong terjadinya efisiensi baik dalam bidang produksi maupun pemasaran. Sedangkan interaksi antar wilayah akan dapat pula mempengaruhi perkembangan bisnis yang pada gilirannya akan dapat pula mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah.

Selanjutnya keuntungan lokasi pada sektor pertanian tersebut umumnya berbeda-beda setiap daerah, yang keadaannya tergantung pada geografi daerah serta sumber daya yang dimiliki. Ini berarti untuk dapat meningkatkan perekonomian suatu daerah maka strategi pembangunannya harus disesuaikan dengan keuntungan lokasi yang dimiliki daerah tersebut. Apabila suatu daerah dapat mengkonsentrasikan produksinya pada sektor yang sangat potensial secara maksimal sehingga menjurus ke arah spesialisasi regional (kekhususan ekonomi daerah), maka daerah tersebut akan memperoleh keuntungan yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan ekonomi daerahnya secara optimal.

Melihat besarnya potensi sektor pertanian terhadap perekonomian Provinsi Jambi, maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut peranan sektor pertanian terhadap perekonomian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi dan struktur pertumbuhan sektor pertanian untuk masing-masing sub sektor pertanian kabupaten/kota di Provinsi Jambi yang dituangkan dalam bentuk proposal skripsi dengan judul “ANALISIS SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAMBI”.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam usaha memacu pertumbuhan ekonomi wilayah sekurang-kurangnya akan berkaitan dengan beberapa hal, salah satunya adalah mendorong tumbuhnya sektor penggerak utama atau sektor basis yang dimiliki perekonomian wilayah tersebut (Mara dan Fitri, 2006). Sektor pertanian merupakan sektor prioritas dalam pembangunan daerah Provinsi Jambi karena sektor ini memberikan peranan yang cukup besar terhadap PDRB dan penyerapan tenaga kerja di Provinsi Jambi.

Mengingat besarnya potensi sektor pertanian yang dimiliki, penyerapan tenaga kerja yang cukup besar dan juga kontribusinya terhadap perekonomian daerah Jambi, maka perlu diteliti lebih lanjut menyangkut keadaan sektor pertanian terutama di setiap kabupaten/kota di Provinsi Jambi yang didasarkan kepada kontribusinya terhadap PDRB masing-masing wilayah. Dengan demikian diharapkan nantinya akan dapat ditentukan di kabupaten/kota mana saja sektor pertanian dapat dijadikan sebagai leading sector dalam perekonomian wilayah, pada sub sektor apa dan seberapa besar dampaknya terhadap perekonomian wilayah di setiap kabupaten/kota di Provinsi Jambi.

Dengan melihat perbandingan-perbandingan kelebihan antar region akan tampak bahwa sektor pertanian merupakan sektor penting dalam kegiatan ekonomi di daerah atau di sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Ini berarti diperlukan prioritas dalam pengembangannya, prioritas ini akan menunjuk pada lokasi mana, potensi-potensi apa saja, kegiatan yang sesuai, bentuk keuntungan dan efek yang terjadi, sehingga dapat ditetapkan arah tahapan pembangunan sebagai salah satu usaha peningkatan pertumbuhan daerah di Provinsi Jambi.

Bertitik tolak dari latar belakang dan uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah sektor pertanian merupakan sektor basis bagi perekonomian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi dan sub sektor apa yang merupakan sub sektor basis disetiap daerah tersebut.

2. Seberapa besar dampak dari pada sektor basis tersebut terhadap perekonomian wilayah pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi.

3. Bagaimana struktur pertumbuhan sektor pertanian untuk masing-masing sub sektor pertanian kabupaten/kota di Provinsi Jambi.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah sektor pertanian merupakan sektor basis bagi perekonomian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi dan sub sektor apa yang merupakan sub sektor basis disetiap daerah tersebut.

2. Untuk mengetahui seberapa besar dampak dari pada sektor basis tersebut terhadap perekonomian wilayah di setiap kabupaten/kota di Provinsi Jambi.

3. Mengidentifikasi struktur pertumbuhan sektor pertanian untuk masing-masing sub sektor pertanian kabupaten/kota di Provinsi Jambi.

1.3.2. Kegunaan Penelitian

1. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi tingkat sarjana di fakultas pertanian Universitas Jambi.

2. Sebagai bahan masukan dan informasi untuk menyusun strategi pembangunan ekonomi pada umumnya dan sektor pertanian khususnya di masa yang akan datang, terutama bagi daerah-daerah yang memiliki sektor basis terhadap sektor pertaniannya.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dengan menganalisa peningkatan pendapatan daerah yang dilihat dari hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh daerah tersebut selama periode tertentu. Peningkatan penambahan dari periode ke periode inilah yang dijadikan sebagai analisa untuk melihat pertumbuhan ekonomi daerah.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator umtuk mengukur keberhasilan ekonomi secara sektoral yang menggunakan data PDRB, yang mana data ini dapat digunakan untuk memonitor sektor-sektor apa saja yang menyebabkan tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut dan sekaligus dapat memberikan prioritas pada sektor-sektor tertentu.

PDRB adalah keseluruhan nilai barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu daerah dalam satu tahun tertentu oleh pemilik faktor produksi yang berada pada daerah tersebut. Komponen PDRB pada umumnya berupa hasil produksi yang ada pada daerah tersebut, adapun sektor-sektor tersebut meliputi sektor primer, sekunder dan tersier. Peningkatan penerimaan dari sektor-sektor produksi tersebut nantinya akan digunakan untuk melihat seberapa besar peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

Pendapatan regional dapat dihitung dengan harga konstan dan harga berlaku. Widodo (1990) mengemukakan, harga berlaku artinya nilai barang jasa dihitung berdasarkan harga pada tahun yang bersangkutan, yang berarti termasuk kenaikan harga-harga ikut dihitung. Sedangkan menurut harga konstan nilai barang jasa yang dihasilkan dihitung berdasarkan harga pada tahun dasar (IHK = 100). Cara perhitungan atas dasar harga konstan ini telah menghilangkan pengaruh harga atau inflasi, sehingga dikatakan menunjukkan nilai riel (nyata).

Menurut Tarigan (2005), metode perhitungan pendapatan regional pada tahap pertama dapat dibagi dalam dua metode, yaitu:

1. Metode langsung

Metode langsung adalah perhitungan dengan menggunakan data daerah atau data asli yang menggambarkan kondisi daerah dan digali dari sumber data yang ada di daerah itu sendiri. Metode langsung dapat dilakukan dengan mempergunakan tiga macam cara, yaitu:

a. Pendekatan produksi (product approach)

Pendekatan produksi adalah penghitungan nilai tambah barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu kegiatan/sektor ekonomi dengan cara mengurangkan biaya antara dari total nilai produksi bruto sektor atau subsektor tersebut.

b. Pendekatan pendapatan (income approach)

Dalam pendekatan pendapatan, nilai tambah dari setiap kegiatan ekonomi diperkirakan dengan menjumlahkan semua balas jasa yang diterima faktor produksi, yaitu upah dan gaji dan surplus usaha, penyusutan, dan pajak tidak langsung neto.

c. Pendekatan pengeluaran (spending approach).

Pendekatan dari segi pengeluaran adalah menjumlahkan nilai penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri. Kalau dilihat dari segi penggunaan maka total penyediaan/produksi barang dan jasa itu digunakan untuk:

1) Konsumsi rumah tangga;

2) Konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung;

3) Konsumsi pemerintah;

4) Pembentukan modal tetap bruto (investasi);

5) Perubahan stok;

6) Ekspor neto.

2. Metode tidak langsung

Metode tidak langsung adalah suatu cara mengalokasikan produk domestik bruto dari wilayah yang lebih luas ke masing-masing bagian wilayah, misalnya mengalokasikan PDB Indonesia ke setiap provinsi dengan menggunakan alokator tertentu, alokator yang dapat digunakan yaitu:

a. Nilai produksi bruto/neto setiap sektor/subsektor, pada wilayah yang dialokasikan;

b. Jumlah produksi fisik;

c. Tenaga kerja;

d. Penduduk;

e. Alokator tidak langsung lainnya.

2.2. Peranan Sektor Pertanian

Menurut Kunarjo (2003), sektor adalah kumpulan program yang mempunyai tujuan yang sama, misalnya sektor pertanian dan pengairan, sektor industri, sektor pertambangan dan energi. Kemudian Rahim dan Hastuti (2007) menyatakan bahwa, pertanian merupakan kegiatan dalam usaha mengembangkan (reproduksi) tumbuhan dan hewan dengan maksud supaya tumbuh lebih baik untuk memenuhi kebutuhan manusia, misalnya bercocok tanam, berternak, dan melaut. Pertanian juga sebagai jenis usaha atau kegiatan ekonomi berupa penanaman tanaman atau usahatani (pangan, hortikultura, perkebunan, dan kehutanan), peternakan (beternak) dan perikanan (budidaya dan menangkap).

Arsyad (1997) mengemukakan bahwa kontribusi suatu sektor terhadap PDRB dapat dijadikan ukuran untuk melihat peranan sektor tersebut dalam perekonomian. Melihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDRB provinsi Jambi yang masih didominasi oleh sektor ini, maka dapat dikatakan bahwa provinsi Jambi berstruktur agraris. Sektor pertanian sebagai sektor pemimpin (leading sektor) harus mampu memacu dan mengangkat pembangunan sektor-sektor lainnya, seperti sektor industri, sektor pertambangan, sektor komunikasi dan pengangkutan, dan sektor lainnya.

Menurut analisis klasik yang dipelopori oleh Kuznet (1964) dalam Tambunan (2003), pertanian merupakan suatu sektor ekonomi yang sangat potensial dalam empat (4) bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, yaitu:

1. Ekspansi dari sektor-sektor ekonomi nonpertanian, bukan saja untuk kelangsungan pertumbuhan suplay makanan tetapi juga untuk penyediaan bahan baku untuk keperluan kegiatan produksi disektor nonpertanian tersebut. Kuznet menyebut ini sebagai kontribusi produk.

2. Karena kuatnya bias agraris dari ekonomi selama tahap-tahap awal pembangunan, maka populasi disektor pertanian (daerah pedesaan) membentuk suatu bagian yang sangat besar dari pasar domestik terhadap produk dari industri dan sektor lain di dalam negeri. Kuznet menyebutnya kontribusi pasar.

3. Karena relatif pentingnya pertanian dan adilnya terhadap penyerapan tenaga kerja, maka sektor ini dapat meningkatkan pembangunan ekonomi dan sebagai modal investasi dalam bidang ekonomi. Kuznet menyebutnya kontribusi faktor produksi.

4. Sektor pertanian mampu berperan sebagai salah satu sumber penting bagi surplus neraca perdagangan atau neraca pembayaran (sumber devisa), baik lewat ekspor hasil-hasil pertanian atau peningkatan produksi komoditi-komoditi pertanian menggantikan impor. Kuznet menyebutnya kontribusi devisa.

2.3. Konsep Ekonomi Basis

Dalam bahasa akademi, perekonomian regional dapat dibagi menjadi dua sektor: kegiatan-kegiatan basis dan bukan-basis. Kegiatan-kegiatan basis (basic activities) adalah kegiatan-kegiatan yang mengekspor barang-barang dan jasa-jasa ke tempat-tempat di luar batas-batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan, atau yang memasarkan barang-barang dan jasa-jasa mereka kepada orang-orang yang datang dari luar perbatasan perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan bukan-basis (non-basic activities) adalah kegiatan-kegiatan yang menyediakan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal di dalam batas-batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan ini tidak mengekspor barang-barang jadi, luas lingkup produksi mereka dan daerah pasar mereka yang terutama adalah bersifat lokal (Glasson, 1990).

Tarigan (2005) menyatakan teori basis ekonomi (economic base theory) mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas kegiatan basis dan kegiatan nonbasis. Hanya kegiatan basis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah.

Implisit di dalam pembagian kegiatan-kegiatan ini terdapat hubungan sebab dan akibat yang membentuk teori basis ekonomi. Bertambah banyaknya basis di dalam suatu daerah akan menambah arus pendapatan ke dalam daerah yang bersangkutan, menambah permintaan terhadap barang-barang dan jasa-jasa di dalamnya dan menimbulkan kenaikan volume kegiatan bukan basis. Sebaliknya, berkurangnya kegiatan basis akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir masuk ke dalam daerah yang bersangkutan, dan turunya permintaan terhadap produk dari kegiatan bukan basis. Dengan demikian, sesuai dengan namanya, kegiatan basis mempunyai peranan penggerak pertama (prime mover role) dimana setiap perubahan mempunyai efek multiplier terhadap perekonomian regional.

Dalam pengertian ekonomi regional, ekspor adalah menjual produk/jasa ke luar wilayah baik ke wilayah lain dalam negeri itu maupun ke luar negeri. Tenaga kerja yang berdomisili di wilayah kita, tetapi bekerja dan memperoleh uang dari wilayah lain termasuk dalam pengertian ekspor. Pada dasarnya kegiatan ekspor adalah semua kegiatan baik penghasil produk maupun penyedia jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah disebut kegiatan basis. Lapangan kerja dan pendapatan di sektor basis adalah fungsi dari permintaan yang bersifat exogenous (tidak tergantung pada kekuatan intern/permintaan lokal).

Bagian yang cukup sulit dalam menggunakan analisis basis ekonomi adalah memilah antara kegiatan basis dan kegiatan nonbasis. Analisis basis ekonomi dapat menggunakan variabel lapangan kerja, pendapatan, atau ukuran lain tetapi yang umum dipakai adalah lapangan kerja atau pendapatan. Secara logika penggunaan variabel pendapatan lebih mengena kepada sasaran. Peningkatan pendapatan di sektor basis akan mendorong kenaikan pendapatan di sektor nonbasis dalam bentuk korelasi yang lebih ketat dibanding dengan menggunakan variabel lapangan kerja. Beberapa metode untuk memilah antara kegiatan basis dan kegiatan non basis dikemukakan berikut ini.

1. Metode langsung

Metode langsung adalah metode pengukuran yang dilakukan dengan survey langsung untuk mengidentifikasi sektor mana yang merupakan sektor basis. Metode ini memerlukan biaya, waktu dan tenaga kerja yang banyak karena langsung ke lapangan.

2. Metode tidak langsung

Metode ini terbagi atas tiga jenis, yaitu:

a. Menggunakan asumsi-asumsi atau metode arbitrer sederhana yang mengasumsikan bahwa semua sektor primer dan manufakturing adalah basis, dan semua sektor jasa adalah bukan basis.

b. Metode Kuosien Lokasi (Location Quotients = LQ) adalah merupakan perbandingan antara pangsa relatif pendapatan sektor i pada tingkat wilayah terhadap pendapatan total wilayah dengan pangsa relatif pendapatan sektor i pada tingkat nasional terhadap pendapatan total nasional. Secara umum location quotient ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

Dimana:

vi = Pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat wilayah

vt = Pendapatan (tenaga kerja) total wilayah

Vi = Pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat nasional

Vt = Pendapatan (tenaga kerja) total nasional.

Apabila LQ suatu sektor > 1, maka sektor tersebut dapat dikatakan sebagai sektor basis. Sedangkan bila LQ suatu sektor <>

c. Metode kebutuhan minimum (minimum requirements) adalah modifikasi dari metode LQ dengan menggunakan distribusi minimum dari tenaga kerja yang diperlukan untuk menopang industri regional dan bukannya distribusi rata-rata.

2.4. Pengganda Basis (Multiplier Effect = MS)

Untuk penerapan kerangka teori model basis ekspor, metode dan teknik analisa yang diperlukan adalah pengukuran besarnya pengaruh ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi daerah serta penaksiran koefisisen multiplier wilayah (Sjafrizal, 2008). Analisis basis dan nonbasis pada umumnya didasarkan atas nilai tambah ataupun lapangan kerja. Misalnya, penggabungan lapangan kerja basis dan lapangan kerja nonbasis merupakan total lapangan kerja yang tersedia untuk wilayah tersebut. Demikian pula penjumlahan pendapatan sektor basis dan pendapatan sektor nonbasis merupakan total pendapatan wilayah tersebut.

Menurut Nugroho dan Dahuri (2004), analisis pengganda (multiplier analisis) menyatakan tingkat ketergantungan ekonomi. Analisis pengganda dapat dilakukan terhadap hasil, pendapatan, dan tenaga kerja. Yang ingin dilihat adalah seberapa jauh perubahan-perubahan dalam hasil, pendapatan, dan kesempatan tenaga kerja sebagai akibat perubahan permintaan suatu sektor. Dalam menggunakan ukuran pendapatan, nilai pengganda basis adalah besarnya kenaikan pendapatan seluruh masyarakat untuk setiap satu unit kenaikan pendapatan di sektor basis.

Menurut Mara dan Fitri (2006), multiplier pada sektor basis biasanya dihitung menurut banyaknya tenaga kerja yang dipekerjakan dan besarnya tambahan PDRB.

Dengan

Dimana:

MS = Multiplier Sektor Basis (Pengganda Basis)

Y = Pendapatan Total

YB = Pendapatan Basis

YN = Pendapatan Non Basis.

Hasil perhitungan angka pengganda ini digunakan untuk memproyeksikan perubahan total pendapatan wilayah yang merupakan efek dari perubahan pendapatan sektor basis. Perubahan pendapatan wilayah tersebut dapat dihitung dengan rumus berikut.

Y = YB X MS

Dimana : Y = Perubahan pendapatan total wilayah

YB = Perubahan pendapatan sektor basis.

Perlu dicatat bahwa dalam penggunaan variabel pendapatan, baik pembilang maupun penyebut harus menggunakan nilai dengan ukuran yang sama, misalnya sama-sama menggunakan nilai konstan atau sama-sama harga yang berlaku. Apabila menggunakan harga berlaku maka kedua nilai adalah untuk tahun yang sama. Sebetulnya menggunakan data pendapatan (nilai tambah) adalah lebih tepat dibanding dengan menggunakan lapangan kerja (Tarigan, 2005). Hal ini tidak lain karena lapangan kerja memiliki bobot yang berbeda antara yang satu dengan lainnya.

2.5. Analisis Shift-Share

Dari teori-teori yang telah dikemukakan sebelumnya, diketahui bahwa peningkatan ekspor tersebut terjadi karena daerah yang bersangkutan mempunyai keuntungan komparatif yang cukup besar untuk beberapa sektor tertentu. Menurut Sjafrizal (2008), Pengukuran besarnya keuntungan komparatif daerah ini tidak dapat diukur dengan persamaan regresi. Karena itu, metode analisa untuk model basis ekspor perlu dilengkapi dengan metode lain yang lazim disebut sebagai Analisis Shift-Share (Shift-Share Analysis).

Analisis shift-share juga membandingkan perbedaan laju pertumbuhan berbagai sektor (industri) di daerah dengan wilayah nasional. Akan tetapi, metode ini lebih tajam dibandingkan dengan metode LQ. Metode LQ tidak memberikan penjelasan atas faktor penyebab perubahan sedangkan metode shift-share memperinci penyebab perubahan atas beberapa variabel. Analisis ini menggunakan metode pengisolasian berbagai faktor yang menyebabkan perubahan struktur sektor (industri) suatu daerah dalam pertumbuhannya dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya. Hal ini meliputi penguraian faktor penyebab pertumbuhan berbagai sektor di suatu daerah tetapi dalam kaitannya dengan ekonomi nasional, dengan formulasi sebagai berikut:

yi = [yi (Yt/Y0 – 1)] + [yi (Yit/Yi0) – (Yt/Y0)] + [yi (yit/yi0) – (Yit/Yi0)]

Dimana: yi = perubahan nilai tambah sektor i

yi0 = nilai tambah sektor i di tingkat daerah pada tahun awal periode

yit = nilai tambah sektor i di tingkat daerah pada akhir periode

Yi0 = nilai tambah sektor i di tingkat nasional pada awal periode

Yit = nilai tambah sektor i di tingkat nasional pada akhir periode.

Persamaan diatas menunjukkan bahwa peningkatan nilai tambah suatu sektor di tingkat daerah dapat diuraikan (decompose) atas 3 bagian. Bagian pertama pada sisi kiri persamaan tersebut adalah:

1. Regional Share: [yi (Yt/Y0 – 1)] adalah merupakan komponen pertumbuhan ekonomi daerah yang disebabkan oleh faktor luar yaitu: peningkatan kegiatan ekonomi daerah akibat kebijaksanaan nasional yang berlaku pada seluruh daerah.

2. Proportionality Shift (Mixed Shift): [yi (Yit/Yi0) – (Yt/Y0)] adalah komponen pertumbuhan ekonomi daerah yang disebabkan oleh struktur ekonomi daerah yang baik, yaitu berspesialisasi pada sektor yang pertumbuhannya cepat.

3. Differential Shift (Competitive Shift): [yi (yit/yi0) – (Yit/Yi0)] adalah komponen pertumbuhan ekonomi daerah karena kondisi spesifik daerah yang bersifat kompetitif. Unsur pertumbuhan inilah yang merupakan keuntungan kompetitif daerah yang dapat mendorong pertumbuhan ekspor daerah.

Dengan menghitung persamaan diatas akan dapat diketahui komponen atau unsur pertumbuhan yang mana yang telah mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Nilai masing-masing komponen dapat saja negatif atau positif, tetapi jumlah keseluruhan akan selalu positif, bila pertumbuhan ekonomi juga positif. Demikian pula sebaliknya bila ekonomi daerah tumbuh negatif. Selanjutnya untuk memudahkan menarik kesimpulan, nilai masing-masing komponen dapat dijadikan dalam bentuk presentase.

Selanjutnya menurut Tarigan (2005), Komponen share sering pula disebut komponen national share. Komponen national share (N) adalah banyaknya pertambahan lapangan kerja/pendapatan regional seandainya proporsi perubahannya sama dengan laju pertambahan nasional selama periode studi. Hal ini dapat dipakai sebagai kriteria bagi daerah yang bersangkutan untuk mengukur apakah daerah itu tumbuh lebih cepat atau lebih lambat dari pertumbuhan nasional rata-rata.

Komponen shift adalah penyimpangan (deviation) dari national share dalam pertumbuhan lapangan kerja/pendapatan regional. Penyimpangan ini positif di daerah-daerah yang tumbuh lebih cepat dan negatif di daerah-daerah yang tumbuh lebih lambat/merosot dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja/pendapatan secara nasional. Bagi setiap daerah, shift netto dapat dibagi menjadi dua komponen, yaitu proportional shift component (P) dan differential shift component (D).

Proportional shift component (P) kadang-kadang dikenal sebagai komponen struktural atau industrial mix, mengukur besarnya shift regional netto yang diakibatkan oleh komposisi sektor-sektor industri di daerah yang bersangkutan. Komponen ini positif di daerah-daerah yang berspesialisasi dalam sektor-sektor yang secara nasional tumbuh cepat dan negatif di daerah-daerah yang berspesialisasi dalam sektor-sektor yang secara nasional tumbuh dengan lambat atau bahkan sedang merosot.

Differential shift component (D) kadang-kadang dinamakan komponen lokasional atau regional adalah sisa kelebihan. Komponen ini mengukur besarnya shift regional netto yang diakibatkan oleh sektor-sektor industri tertentu yang tumbuh lebih cepat atau lebih lambat di daerah yang bersangkutan daripada tingkat nasional yang disebabkan oleh faktor-faktor lokasional intern. Jadi, suatu daerah yang mempunyai keuntungan lokasional seperti sumber daya yang melimpah/efisien, akan mempunyai differential shift component yang positif, sedangkan daerah yang secara lokasional tidak menguntungkan akan mempunyai komponen yang negatif.

Kedua komponen shift ini memisahkan unsur-unsur pertumbuhan regional yang bersifat ekstern dan yang bersifat intern. Proportional shift adalah akibat dari pengaruh unsur-unsur luar yang bekerja secara nasional, sedangkan differential shift adalah akibat dari pengaruh faktor-faktor yang bekerja khusus di daerah yang bersangkutan.

2.7. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Hasil penelitian Nasrudin (2006) dalam skripsinya yang berjudul Analisis Peranan Sektor Pertanian Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Provinsi Jambi menyimpulkan bahwa: Berdasarkan indikator pendapatan selama periode 1994-2005, sektor pertanian merupakan sektor basis bagi provinsi Jambi dengan nilai koefisien lokasi rata-rata sebesar 1,67 yang menandakan bahwa sektor pertanian adalah sektor unggulan yang dapat memenuhi kebutuhan wilayah dan dapat diekspor keluar. Sama halnya berdasarkan indikator tenaga kerja selama periode 1994-2005, sektor pertanian juga merupakan sektor basis bagi provinsi Jambi dengan nilai koefisien lokasi rata-rata sebesar 1,50.

Angka pengganda terkecil terjadi pada tahun 1994 (3,49) dan terbesar tahun 1997 (3,78). Berdasarkan angka pengganda tersebut, dapat dilihat perubahan pendapatan wilayah provinsi Jambi sebagai akibat dari perubahan pendapatan sektor pertanian. Sedangkan berdasarkan indikator tenaga kerja yang terkecil terjadi pada tahun 1994 (1,54) dan terbesar tahun 1999 (1,81). Berdasarkan angka pengganda tersebut dapat dilihat perubahan tenaga kerja wilayah provinsi Jambi sebagai akibat perubahan tenaga kerja sektor pertanian.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Yunita (2005) dalam skripsinya yang berjudul Peranan Subsektor Perkebunan Dalam Perekonomian Provinsi Jambi menyimpulkan bahwa, peranan subsektor perkebunan sangat penting dalam perekonomian propinsi Jambi, yang tergambar jelas dari pengaruh volume ekspor, investasi dan penyerapan tenaga kerja subsektor perkebunan terhadap peningkatan produk, yang terlihat pada PDRB propinsi Jambi.

Erfit (2000), dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Peranan Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Wilayah Di Berbagai Daerah Tingkat II Provinsi Jambi (Suatu Pendekatan Ekonomi Basis Model), periode analisis tahun 1993-1997, menyimpulkan bahwa dari 6 daerah tingkat II yang ada di Provinsi Jambi, ada 4 daerah tingkat II yang sektor pertanian sebagai sektor basis bagi perekonomian daerahnya yaitu Kabupaten Kerinci, Kabupaten Bungo Tebo, Kabupaten Sarolangun Bangko, dan Kabupaten Batang Hari. Sementara itu untuk Kabupaten Tanjung Jabung dan Kota Jambi sektor pertanian bukanlah sektor basis. Penelitian ini tidak dipertajam dengan melihat peranan dari masing-masing sub sektor yang membentuk sektor pertanian tersebut dan tidak dilanjutkan dengan pengidentifikasian struktur pertumbuhan sektor pertanian masing-masing daerah tingkat II.

2.7. Kerangka Pemikiran

Dengan adanya pemberlakuan otonomi daerah pada saat ini, maka pembangunan nasional akan lebih berorientasi pada pembangunan daerah yang didasarkan pada kekayaan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Sejalan dengan adanya otonomi daerah, maka pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur sendiri perekonomiannya, demikian juga halnya dengan Provinsi Jambi yang merupakan salah satu daerah di Indonesia. Perekonomian Provinsi Jambi antara lain diukur dengan indikator PDRB Provinsi Jambi. Oleh karena itu, kemampuan pemerintah daerah Provinsi Jambi untuk melihat sektor-sektor yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi penting dalam hal ini.

Dengan berpedoman kepada PDRB Provinsi Jambi maka dapat diketahui bahwa sektor pertanian merupakan sektor dominan di Provinsi Jambi, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya yang cukup besar dalam pembentukan PDRB Provinsi Jambi. Kenyataan diatas tidak terlepas dari perekonomian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi yang umumnya bercorak agraris. Artinya sebagian besar perekonomian kabupaten/kota di Provinsi Jambi masih didominasi oleh sektor pertanian.

Melihat besarnya potensi sektor pertanian yang dimiliki, maka perlu diteliti lebih lanjut menyangkut keadaan sektor pertanian terutama di setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi. Apakah sektor pertanian tersebut merupakan sektor basis bagi perekonomian wilayahnya, dan seberapa besar dampaknya terhadap perekonomian wilayah di setiap kabupaten/kota tersebut. Sehingga dapat ditentukan di kabupaten/kota mana sektor pertanian dapat dijadikan sebagai sektor penggerak utama (leading sector) bagi perekonomian wilayahnya. Untuk mempertajam analisa maka dilakukan juga penganalisaan terhadap masing-masing sub sektor pertanian untuk masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi.

Pada prinsipnya suatu daerah dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi apabila daerah tersebut memiliki komposisi struktur kegiatan ekonomi dan keuntungan lokasi pada sebahagian besar sektor kegiatan ekonomi daerahnya. Dengan kata lain daerah tersebut telah berspesialisasi pada sektor-sektor yang pertumbuhannya cepat, baik pada tingkat nasional maupun regional. Kedua faktor penyebab perbedaan pertumbuhan tersebut dapat dianalisa dengan menggunakan teknik Shift-Share Analysis.

Secara skematis kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dijelaskan dengan gambar:


Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

III. METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk memenuhi tujuan stu$i penganalisaan maka penelitian ini dilakukan terhadap semua kabupaten/kota yang berada di wilayah Provinsi Jambi sebagai wilayah studi dan Provinsi Jambi sebafai wilayah referensi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat di kabupaten/kota mana sektor pertanian merupakan sektor basis bagi perekonomian wilayahnya selama periode 2001-2007, seberapa besar dampak dari p da sektor basis tersebut terhad!p perekonomian vilayah pada mas)ng-masing daerah, serta mengide.tifikasi strukttr pertumbuhan sektor pertanian untuk masing-masing sub sektor pertanian kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Penelitian ini dilakukan dengan pende*atan ekonomi baris dengan menggunakan PDRB sebagai dasar perhitungan dan dideka4i dengan metode LQ, Pengganda B`sis (Multiplier Effect = MS), s$rta Shift-Share Analysis. Indik`tor PDRB yang digunakan dalam penelitian ini adalah indikator pendapatan. Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 15 Mei sampai tanggal 15 Juni 2009.

Data yang diperlukan untuk menjelaskan aspek yang akan diteliti diambil dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2007, meliputi:

1. Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jambi tahun 2001 - 2007 atas dasar harga konstan 2000.

2. Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Merangin, Kabupaten Tebo, Kabupaten Bungo, dan Kabupaten kerinci tahun 2001 - 2007 atas dasar harga konstan 2000.

3. Data lain yang dianggap perlu dan relevan dengan masalah yang diteliti.

3.2. Sumber dan Metode Pengumpulan Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah:

1. Data primer, berupa data time series dari tahun 2001 - 2007 Yang di dapat dari instansi-instansi yang terkait antara lain Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, Badan Pusat Statistik Kabupaten Muaro Jambi, Badan Pusat Statistik Kabupaten Batang Hari, Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Badan Pusat Statistik Kabupaten Sarolangun, Badan Pusat Statistik Kabupaten Merangin, Badan Pusat Statistik Kabupaten Tebo, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bungo, dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Kerinci. Selain itu diperoleh juga data dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Jambi.

2. Data sekunder, berupa data yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang relevan dan studi kepustakaan dari berbagai literatur yang berhubungan dengan permasalahan pada penelitian ini.

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka yaitu dengan cara mengutip data-data yang diperlukan dari instansi terkait, mempelajari literatur atau karangan ilmiah maupun hasil ilmiah terdahulu yang ada kaitannya dengan topik penelitian, penelusuran dokumen serta laporan-laporan dari instansi yang terkait.

3.3. Metode Analisis Data

Adapun metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif kuantitatif. Analisis deskriptif merupakan analisis yang dilakukan berdasarkan perkembangan data yang dianalisa secara deskriptif untuk melihat perkembangan perekonomian khususnya sektor pertanian di setiap kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jambi serta keterkaitannya. Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk menghitung beberapa hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian.

Berdasarkan tujuan penelitian yang dikemukakan maka analisis kuantitatif yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjawab tujuan penelitian I yaitu menentukan apakah sektor pertanian merupakan sektor basis bagi perekonomian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi dan sub sektor apa yang merupakan sub sektor basis disetiap daerah tersebut digunakan rumus Location Quotient (LQ) sebagai berikut (Mara dan Fitri, 2006):

Dimana:

LQ = Indeks Location Quotient

vij = Pendapatan sektor pertanian/sub sektor i kabupaten/kota j

vtj = Pendapatan total kabupaten/kota j

Vi = Pendapatan sektor pertanian/sub sektor i Provinsi Jambi

Vt = Pendapatan total Provinsi Jambi.

Apabila: Nilai LQ > 1, maka digolongkan sebagai sektor basis yang menunjukkan surplus dalam daerah tersebut dan sebagian dapat diekspor.

Nilai LQ <>

2. Untuk menjawab tujuan penelitian II yaitu menentukan seberapa besar dampak dari pada sektor basis tersebut terhadap perekonomian wilayah pada masing-masing kabupaten/kota, maka digunakan rumus multiplier ekonomi basis sebagai berikut (Mara dan Fitri, 2006):

Dimana:

Y = Pendapatan Total

MS = Multiplier Sektor Basis (Pengganda Basis)

YB = Pendapatan Basis

YN = Pendapatan Non Basis.

Artinya : Setiap Rp 1,00 pendapatan sektor pertanian akan menghasilkan penambahan pendapatan wilayah sebesar nilai yang didapat pada tahun tersebut.

Perubahan pendapatan wilayah sebagai efek dari perubahan pendapatan basis tersebut dapat dapat dihitung dengan rumus:

Y = YB X MS

Dimana : Y = Perubahan pendapatan total wilayah

YB = Perubahan pendapatan sektor basis.

3. Untuk menjawab tujuan penelitian III yaitu mengidentifikasi struktur pertumbuhan sektor pertanian untuk masing-masing sub sektor pertanian kabupaten/kota di Provinsi Jambi digunakan Analisis Shift-Share dengan rumus sebagai berikut (Blair, 1991 dalam Sjafrizal, 2008):

yij = [yij0 (Yt/Y0 – 1)] + [yij0 (Yit/Yi0) – (Yt/Y0)] + [yij0 (yijt/yij0) – (Yit/Yi0)]

Dimana:

yij = perubahan nilai tambah sub sektor pertanian i kabupaten/kota j selama satu periode

i = sub sektor pertanian

j = kabupaten/kota di Provinsi Jambi.

Selanjutnya perubahan nilai tambah sub sektor pertanian i di kabubaten/kota j selama satu periode dapat diuraikan menjadi tiga komponen pertumbuhan regional yaitu: Regional Share, Proportionality Shift, dan Differential Shift, maka persamaan tersebut menjadi:

yij = Rij + Pij + Dij

Dimana:

Rij = Regional Share sub sektor pertanian i kabupaten/kota j selama satu periode

Pij = Proportionlity Shift sub sektor pertanian i kabupaten/kota j selama satu periode

Dij = Differential Shift sub sektor pertanian i kabupaten/kota j selama satu periode.

Sedangkan nilai komponen Rij, Pij dan Dij diatas dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:

a. Regional Share ( Rij ) atau komponen pertumbuhan nasional.

Rij = yij0 (Yt/Y0 – 1)

Dimana:

yij0 = nilai tambah sub sektor pertanian i kabupaten/kota j pada awal periode

Yt = Nilai tambah seluruh sub sektor pertanian Provinsi Jambi pada akhir periode

Y0 = Nilai tambah seluruh sub sektor pertanian Provinsi Jambi pada awal periode.

b. Proportionality Shift ( Pij ) atau komponen struktur pertanian regional.

Pij = yij0 (Yit/Yi0) – (Yt/Y0)

Dimana:

Yit = nilai tambah sub sektor pertanian i Provinsi Jambi pada akhir periode

Yi0 = nilai tambah sub sektor pertanian i Provinsi Jambi pada awal periode.

Dari hasil perhitungan unsur proportionality shift untuk tiap-tiap kabupaten/kota, maka dapat diidentifikasikan bahwa apabila:

Pj Positif : Menunjukkan pertambahan nilai tambah sub sektor pertanian i di region j akibat pertumbuhan sub sektor pertanian tersebut secara keseluruhan di atas pertumbuhan rata-rata sektor pertanian Provinsi Jambi.

Pij Negatif : Menunjukkan pengurangan nilai tambah sub sektor pertanian i di kabupaten/kota j akibat pertumbuhannya secara keseluruhan di bawah pertumbuhan rata-rata sektor pertanian Provinsi Jambi.

Selanjunya dari jumlah semua nilai Proportionality Shift sub sektor pertanian di dapat nilai Proportionality Shift sektor pertanian kabupaten/kota j (Pj), dan dapat diidentifikasikan bahwa apabila:

Pj Positif : Menunjukkan bahwa komposisi sub sektor pertanian di kabupaten/kota j berspesialisasi pada sub sektor-sub sektor pertanian yang pertumbannya cepat di ProvinsiJambi

Pj Negatif : Menunjukkan bahwa komposisi sub sektor pertanian di kabupaten/kota j berspesialisasi pada sub sektor-sub sektor pertanian yang pertumbuhannya lambat di Provinsi Jambi.

c. Differential Shift ( Dij ) atau komponen keunggulan kompetitif.

Dij = yij0 (yijt/yij0) – (Yit/Yi0)

Dimana:

yijt = nilai tambah sub sektor pertanian i kabupaten/kota j pada akhir periode

yij0 = nilai tambah sub sektor pertanian i kabupaten/kota j pada awal periode.

Dari hasil perhitungan nilai differential shift ini dapat diidentifikasikan bahwa apabila:

Dij Positif : Hal ini menunjukkan bahwa sub sektor pertanian i di kabupaten/kota j memiliki pertumbuhan yang relatif lebih cepat dibanding kabupaten/kota lain atau Provinsi Jambi pada sub sektor yang sama selama periode analisa.

Dij Negatif : Hal ini menunjukkan bahwa sub sektor pertanian i di kabupaten/kota j memiliki pertumbuhan yang relatif lebih lambat dibanding kabupaten/kota lain atau Provinsi Jambi pada sub sektor yang sama selama periode analisa.

3.4. Konsepsi Pengukuran

1. PDRB Provinsi Jambi adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan seluruh sektor kegiatan ekonomi di Provinsi Jambi dalam satu tahun berdasarkan harga konstan tahun 2000 (juta rupiah) selama periode 2001-2007.

2. PDRB kabupaten/kota adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan seluruh sektor kegiatan ekonomi di masing-masing kabupaten/kota dalam Provinsi Jambi berdasarkan harga konstan tahun 2000 (juta rupiah) selama periode 2001-2007.

3. PDRB atas dasar harga konstan adalah jumlah nilai barang dan jasa yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi wilayah dalam kurun waktu 2001-2007 yang dihitung berdasarkan harga pada tahun dasar (juta rupiah).

4. Pendapatan sektor/sub sektor pertanian adalah nilai tambah bruto sektor/sub sektor pertanian di Provinsi Jambi dan masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi (juta rupiah).

5. Kontribusi sektor/sub sektor pertanian adalah sumbangan atau peranan (share) yang diberikan oleh sektor/masing-masing sub sektor pertanian terhadap PDRB (%).

6. Sektor pertanian secara luas adalah sektor pertanian yang mencakup 5 sub sektor, yaitu:

a. Sub sektor tanaman bahan makanan;

b. Sub sektor tanaman perkebunan;

c. Sub sektor peternakan dan hasil-hasilnya;

d. Sub sektor kehutanan;

e. Sub sektor perikanan.

7. Periode analisa dilakukan dari tahun 2001 – 2007 dengan menggunakan data PDRB atas dasar harga konstan 2000. Tahun 2001 dipilih sebagai tahun awal periode analisa karena otonomi daerah di Indonesia dilaksanakannya sejak tanggal 1 Januari 2001, dan tahun 2007 dipilih sebagai tahun akhir periode analisa dengan alasan pengambilan data tahun terbaru.

8. Dalam analisa ini yang dimaksud daerah/wilayah studi adalah kabupaten/kota dalam wilayah Provinsi Jambi sedangkan daerah/wilayah referensinya adalah Provinsi Jambi.

9. Pengukuran potensi daerah dengan kuosien lokasi dibahas dengan membandingkan masing-masing kabupaten/kota dengan Provinsi Jambi (sebagai daerah referensi). Sedangkan cara pengukuran dipisahkan menjadi dua cara yaitu dengan membandingkan sektor pertanian daerah studi dengan sektor pertanian daerah referensi dan membandingkan sub sektor pertanian daerah studi dengan sub sektor pertanian daerah referensi. Adapun tujuan kedua sisi tersebut adalah untuk melihat ketajaman hasil perhitungan dimana kekuatan masing-masing sub sektor pertanian dapat diketahui.

10. Multiplier sektor basis adalah angka pengganda yang memperlihatkan besarnya pertambahan pendapatan sebagai akibat terjadi peningkatan dari produksi sektor/sub sektor pertanian.

11. Struktur pertumbuhan sektor pertanian yang akan dibahas hanya menurut pengertian Shift-Share Analysis yang mana pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh pertumbuhan sektor pertanian nasional, struktur sektor pertanian regional dan pengaruh keuntungan lokasi.

12. Dalam Analisis Shift-Share, nilai tambah sektor/sub sektor pertanian Provinsi Jambi yang digunakan adalah jumlah dari nilai tambah sektor/sub sektor pertanian semua kabupaten/kota di Provinsi Jambi, ini ditujukan agar proporsi perubahannya/pertumbuhan sektor pertanian semua kabupaten/kota sama dengan pertumbuhan sektor pertanian Provinsi Jambi.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

4.1.1. Keadaan geografi

Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 00 451 sampai 20 451 lintang selatan dan antara 1010 101 sampai 1040 551 bujur timur. Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, sebelah Timur dengan Laut Cina Selatan, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan, dan sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Bengkulu. Luas wilayah Provinsi Jambi 53.435 Km2, yang terdiri dari:

1. Kabupaten Kerinci

Luas wilayah 4.200 Km2 (7,86% dari luas wilayah Provinsi Jambi). Ibukota kabupaten Sungai Penuh. Jarak ke ibukota provinsi 419,21 Km. Batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat, sebelah Selatan dengan Kabupaten Merangin, sebelah Timur dengan Kabupaten Bungo, dan sebelah Barat dengan Provinsi Sumatera Barat dan Bengkulu.

2. Kabupaten Merangin

Luas wilayah 6.380 Km2 (11,94% dari luas wilayah Provinsi Jambi). Ibukota kabupaten Bangko. Jarak ke ibukota provinsi 255,03 Km. Batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bungo, sebelah Selatan dengan Provinsi Bengkulu, sebelah Timur dengan Kabupaten Sarolangun, dan sebelah Barat dengan Kabupaten Kerinci.

3. Kabupaten Sarolangun

Luas wilayah 7.820 Km2 (14,63% dari luas wilayah Provinsi Jambi). Ibukota kabupaten Sarolangun. Jarak ke ibukota Provinsi 179,29 Km. Batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tebo, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Selatan, sebelah Timur dengan Kabupaten Batang Hari, dan sebelah Barat dengan Kabupaten Merangin.

4. Kabupaten Batang Hari

Luas wilayah 4.983 Km2 (9,33% dari luas wilayah Provinsi Jambi). Ibukota kabupaten Muara Bulian. Jarak ke ibukota Provinsi 27,00 Km. Batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tanjung Jabung Barat, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Selatan, sebelah Timur dengan Kabupaten Muaro Jambi, dan sebelah Barat dengan Kabupaten Tebo dan Sarolangun.

5. Kabupaten Muaro Jambi

Luas wilayah 6.147 Km2 (11,50% dari luas wilayah Provinsi Jambi). Ibukota kabupaten Sengeti. Jarak ke ibukota Provinsi 58,93 Km. Batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Selatan, sebelah Timur dengan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, dan sebelah Barat dengan Kabupaten Batang Hari.

6. Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Luas wilayah 5.330 Km2 (9,97% dari luas wilayah Provinsi Jambi). Ibukota kabupaten Muara Sabak. Jarak ke ibukota Provinsi 129,44 Km. Batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Selat Berhala Laut Cina Selatan, sebelah Selatan dengan Kabupaten Muaro Jambi, sebelah Timur dengan Selat Berhala Laut Cina Selatan, dan sebelah Barat dengan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

7. Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Luas wilayah 4.870 Km2 (9,11% dari luas wilayah Provinsi Jambi). Ibukota kabupaten Kuala Tungkal. Jarak ke ibukota Provinsi 130,78 Km. Batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Indragiri Ilir (Riau), sebelah Selatan dengan Kabupaten Batang Hari dan Muaro Jambi, sebelah Timur dengan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, dan sebelah Barat dengan Kabupaten Tebo.

8. Kabupaten Tebo

Luas wilayah 6.340 Km2 (11,86% dari luas wilayah Provinsi Jambi). Ibukota kabupaten Muara Tebo. Jarak ke ibukota Provinsi 205,80 Km. Batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Indragiri Hulu (Riau), sebelah Selatan dengan Kabupaten Sarolangun dan Merangin, sebelah Timur dengan Kabupaten Batang Hari dan Tanjung Jabung Barat, dan sebelah Barat dengan Provinsi Sumatera Barat.

9. Kabupaten Bungo

Luas wilayah 7.160 Km2 (13,40% dari luas wilayah Provinsi Jambi). Ibukota kabupaten Muara Bungo. Jarak ke ibukota Provinsi 251,60 Km. Batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat, sebelah Selatan dengan Kabupaten Merangin, sebelah Timur dengan Kabupaten Kerinci, dan sebelah Barat dengan Provinsi Sumatera Barat.

10. Kota Jambi 205 Km2 (0,38%).

Luas wilayah 205 Km2 (0,38% dari luas wilayah Provinsi Jambi). Ibukotanya Kota Baru. Jarak ke ibukota Provinsi 0 Km. Batas wilayah dikelilingi Kabupaten Muaro Jambi.

4.1.2. Pertanian

1. Tanaman Pangan

Lahan di Provinsi Jambi pada tahun 2007 seluas 5.192.924 hektar, terdiri dari lahan sawah 191.774 hektar (3,69%) dan luas bukan sawah 5.001.150 hektar (96,31%) yang terbagi menjadi lahan kering 4.476.639 hektar (89,51%) dan lainnya 524.511 hektar (10,49%). Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Jambi merupakan wilayah potensi tanaman pangan. Lahan sawah terluas di Provisi Jambi terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur 64.078 hektar, diikuti oleh Kabupaten Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Barat masing-masing 25.743 hektar dan 25.054 hektar, sedangkan paling sedikit di Kota Jambi 1.676 hektar.

Padi sawah Provinsi Jambi tahun 2007 naik sebesar 6,19 % dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya dan padi ladang naik sebesar 19,28 % dari tahun sebelumnya. Produksi Palawija seperti Ubi Kayu naik 9,84 %, Jagung turun 2,52 %, Ubi Jalar naik 24,27 %, dan Kedelai naik 25,38 %.

2. Perkebunan

Perkebunan daerah Jambi pada umumnya adalah perkebunan rakyat. Produksi perkebunan rakyat yang terbesar adalah Kelapa Sawit memiliki luas tanaman 430.610 hektar dengan produksi 1.035.300 ton pada tahun 2007. Komoditas andalan lainnya yaitu Karet dengan produksi 273.503 ton serta Kelapa Dalam 116.459 ton.

3. Peternakan

Ternak Sapi masih mendominasi jenis ternak besar yaitu dengan jumlah populasi sebesar 128.314 ekor atau meningkat 8,59 % dari tahun sebelumnya dengan jumlah populasi terbanyak berada di Kabupaten Bungo. Sedangkan ternak kecil terbanyak adalah hewan Kambing sebesar 149.874 ekor dengan populasi di Kabupaten Tebo. Adapun ternak unggas terbesar adalah ayam pedaging sebesar 6.964.133 ekor.

4. Kehutanan

Hasil kehutanan Provinsi Jambi yang terbesar adalah bahan baku serpih, produksi tahun 2007 adalah 5.271.518,95 m3 atau meningkat 19,03 % dibandingkan tahun sebelumnya. Komoditi kedua terbesar adalah Plup sebesar 674.081 ton, hasil hutan ini mengalami penurunan produksi sebesar 2,92 %.

5. Kelautan dan perikanan

Potensi kelautan hanya berada di dua kabupaten yaitu Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat dengan masing-masing produksi 11.948,6 ton dan 14.129,8 ton. Sedangkan perikanan darat tersebar di semua kabupaten/kota terbagi menjadi perairan umum dan budidaya. Secara keseluruhan hasil produksi perikanan darat sebesar 6.760 ton dengan konsentrasi terbanyak di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, sedangkan produksi perikanan hasil budidaya sebanyak 18.243,8 ton dimana Kabupaten Muaro Jambi sebagai pemegang andil terbesar budidaya ikan patin.

4.1.3. Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Sektor Pertanian

Kegiatan ekonomi suatu daerah biasanya diukur dari tingkat perkembangan pendapatan daerah yang dapat mencerminkan kemajuan yang dicapai oleh daerah tersebut. Peningkatan ekonomi yang dicapai akan dapat diketahui dengan melihat laju pertumbuhan PDRB daerah tersebut. Laju pertumbuhan PDRB provinsi merupakan resultan dari pertumbuhan di kabupaten/kota, meskipun besaran hasil hitungan tersebut secara matematis dapat menunjukkan perbedaan.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi pada periode 2001-2007 adalah sebesar 5,75 % yang berarti cukup tinggi bila dibandingkan dengan beberapa daerah di Provinsi Jambi. Secara regional tingkat pertumbuhan setiap daerah di Provinsi Jambi cukup bervariasi, pada periode 2001-2007 ada 4 daerah yang rata-rata pertumbuhan ekonominya relatif tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional (Provinsi Jambi). Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Sarolangun, dan Bungo yang rata-rata pertumbuhannya masing-masing sebesar 7,83 %, 7,05 %, 6,18 %, dan 6,08 %. Sedangkan daerah-daerah selebihnya mempunyai pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata nasional, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1. Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan sektor/sub sektor pertanian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi periode 2001-2007 (%)

Kabupaten/Kota

Tbm

Tp

Pt

Kh

Pr

P

PDRB

Muaro Jambi

Batang Hari

Sarolangun

Merangin

Tebo

Bungo

Kerinci

Tanjab. Timur

Tanjab. Barat

Kota Jambi

3,70

3,68

3,46

0,15

1,39

1,59

5,97

6,29

6,12

0,62

6,33

6,03

3,89

9,99

7,16

5,15

4,25

6,05

11,92

0,00

1,42

3,57

12,07

4,50

4,54

3,59

5,08

5,74

8,95

2,70

1,13

-4,29

-5,04

-14,02

-0,53

-2,06

-6,64

5,10

-8,52

0,00

5,06

8,27

5,58

7,15

4,79

3,86

3,31

17,06

6,78

3,60

4,45

4,03

3,48

1,39

4,34

2,68

5,16

8,03

7,15

1,82

3,99

4,98

6,18

4,94

5,58

6,08

5,24

7,05

7,83

5,33

Provinsi Jambi

4,72

9,16

4,14

-4,09

1,95

5,64

5,75

Sumber : Diolah dari data Produk Domestik Regional Bruto kabupaten/kota dan Provinsi Jambi atas dasar harga konstan 2000 tahun 2001 dan 2007.

Ket. : Tbm : Sub sektor tanaman bahan makanan; Tp : tanaman perkebunan; Pt : peternakan dan hasil-hasilnya; Kh : kehutanan; Pr : perikanan; P : Sektor pertanian; PDRB : Produk Domestik Regional Bruto.

Dari tabel 4.1. di atas juga dapat dilihat rata-rata laju pertumbuhan sektor pertanian kabupaten/kota di Provinsi Jambi tahun 2001-2007 yang umumnya berada di bawah rata-rata laju pertumbuhan sektor pertanian Provinsi Jambi, kecuali Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat yang masing-masing mencapai rata-rata laju pertumbuhan 8,03 % dan 7,15 % yang berarti di atas rata-rata laju pertumbuhan sektor pertanian Provinsi Jambi yang hanya 5,64 % pada periode yang sama.

Sedangkan pertumbuhan sub sektor pertanian di Provinsi Jambi adalah sangat bervariasi antara masing-masing daerah, untuk sub sektor tanaman bahan makanan tingkat pertumbuhan didominasi Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, dan Kerinci yang rata-rata laju pertumbuhan masing-masingnya sebesar 6,29 %, 6,12 %, dan 5,97 %, berada diatas rata-rata laju pertumbuhan sub sektor tanaman bahan makanan Provinsi Jambi yang hanya 4,72 %. Adapun rata-rata laju pertumbuhan sub sektor perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan dapat dilihat lebih lengkap pada tabel 4.1.

4.1.4. Perkembangan Kontribusi Sektor Pertanian

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa sektor pertanian dalam arti luas mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian Provinsi Jambi. Selama periode 2001-2007 sektor pertanian menyumbang lebih dari sepertiga dari total PDRB Provinsi Jambi. Sehingga dengan demikian sektor pertanian merupakan sektor terpenting dalam struktur perekonomian Provinsi Jambi. Untuk lebih jelasnya, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Provinsi Jambi dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2. Kontribusi sektor/sub sektor pertanian terhadap PDRB Provinsi Jambi tahun 2001-2007 (%)

Sektor/

Sub Sektor

Tahun

Rata-

rata

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

Pertanian

a. Tan.bhn makanan

b.Tan.perkebunan

c. Peternakan

d.Kehutanan

e. Perikanan

31,29

12,03

12,00

2,30

3,46

1,50

30,99

11,88

12,32

2,33

2,94

1,51

30,57

11,63

12,42

2,34

2,62

1,56

30,48

11,66

12,69

2,40

2,28

1,46

30,20

11,67

12,59

2,37

2,11

1,47

31,75

11,62

14,89

2,19

2,02

1,03

31,09

11,34

14,52

2,10

1,93

1,21

30,91

11,69

13,06

2,29

2,48

1,39

Sumber : Lampiran 9

Ket :

= Proporsi sektor/sub sektor pertanian Provinsi Jambi x 100 %.

Dari tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Provinsi Jambi selama periode 2001-2007 cukup berfluktuasi. Kontribusi tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 31,75 %, sedangkan kontribusi terendah terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 30,20 % dengan rata-rata kontribusi sebesar 30,91 % selama tahun 2001-2007. Selanjutnya dapat diketahui juga bahwa sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB Provinsi Jambi sedikit mengalami penurunan antara tahun 2001 dan 2007, yaitu sebesar 31,29 % pada tahun 2001 turun menjadi 31,09 % pada tahun 2007. Jika dilihat lebih lanjut, maka dapat diketahui bahwa penurunan ini disebabkan oleh penurunan kontribusi sub sektor tanaman bahan makanan, peternakan, kehutanan, dan perikanan, walaupun diikuti oleh kenaikan sub sektor tanaman perkebunan dari 12,00 % tahun 2001 menjadi 14,52 % pada tahun 2007, akan tetapi tidak cukup berarti untuk dapat meningkatkan sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB Provinsi Jambi.

Hal yang sama juga terjadi pada perekonomian kabupaten/kota di Provinsi Jambi, dimana sebagian besar kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB masing-masing kabupaten/kota selama periode 2001-2007 cenderung mengalami penurunan (lihat kembali lampiran 9). Ada 5 daerah yang kontribusi sektor pertanian terhadap PDRBnya selalu mengalami penurunan yaitu Kabupaten Batang Hari, Sarolangun, Merangin, Bungo, dan Kota Jambi, sedangkan kabupaten lain kontribusinya sangat berfluktuasi.

Selama tahun 2001-2007 di Provinsi Jambi ada 3 kabupaten yang kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian daerahnya sangat dominan, dimana lebih dari setengah pendapatan daerahnya (PDRB) disumbangkan oleh sektor pertanian. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah Kabupaten Merangin dengan rata-rata kontribusi sektor pertanian sebesar 54,02 %, Kabupaten Tebo dengan rata-rata kontribusi sektor pertanian sebesar 52,95 %, dan Kabupaten Kerinci dengan rata-rata kontribusi sektor pertanian sebesar 50,12 % (Diolah dari lampiran 9).

Besarnya kontribusi sektor pertanian kabupaten-kabupaten tersebut disebabkan karena besarnya kontribusi sub sektor tanaman bahan makanan dan tanaman perkebunan. Untuk Kabupaten Merangin kontribusi terbesar disumbangkan oleh sub sektor tanaman bahan makanan dengan rata-rata kontribusi tahun 2001-2007 sebesar 22,45 %, demikian juga halnya Kabupaten Kerinci dengan rata-rata kontribusi sebesar 25,47 % yang juga merupakan rata-rata kontribusi sub sektor tanaman bahan makanan tertinggi dari semua kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Sedangkan Kabupaten Tebo kontribusi terbesar disumbangkan oleh sub sektor tanaman perkebunan, dengan rata-rata kontribusi sebesar 26,83 %, yang juga merupakan rata-rata kontribusi sub sektor tanaman perkebunan tertinggi dari semua kabupaten/kota di Provinsi Jambi (Diolah dari lampiran 9).

4.1.5. PDRB Per Kapita Provinsi Jambi

Untuk melihat gambaran tingkat kesejahteraan masyarakat, maka diperlukan data PDRB per kapita yang merupakan salah satu indikator ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Nilai PDRB per kapita diperoleh dengan cara membagi nilai PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun pada tahun yang sama. Artinya apabila persentase pertambahan PDRB lebih besar dari persentase pertambahan penduduk maka PDRB per kapitanya akan semakin besar, begitu sebaliknya. Walaupun demikian jika angka PDRB per kapita akan dijadikan ukuran bagi tingkat kemakmuran/kesejahteraan suatu daerah, maka angka tersebut tidak dapat digunakan langsung untuk pengambilan kesimpulan, masih harus diiringi dengan indikator lainnya. Untuk mengetahui jumlah PDRB per kapita masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi, dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut.


Tabel 4.3. PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi Jambi atas dasar harga konstan 2000 tahun 2001-2007 (rupiah)

Tahun

Kabupaten/Kota

Provinsi

Jambi

Ma. Jambi

Bt. Hari

Sarolangun

Merangin

Tebo

Bungo

Kerinci

Tanjabtim

Tanjabbar

Jambi

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

1.080.914

1.083.719

1.015.810

3.178.154

3.221.564

3.250.879

3.285.569

1.348.870

1.386.343

1.401.651

4.078.640

4.374.530

4.502.261

4.674.625

1.250.669

1.314.015

1.337.963

4.074.087

4.226.319

4.443.762

4.689.589

985.981

1.014.750

998.077

2.926.222

3.113.260

3.215.390

3.387.880

794.936

800.476

867.011

2.680.669

2.750.263

2.827.709

3.290.274

1.196.794

1.236.368

1.208.007

3.375.014

3.524.051

3.706.315

3.937.212

1.385.165

1.424.845

1.472.112

3.930.199

4.212.296

4.334.319

4.546.225

2.193.883

2.307.841

2.263.865

8.745.499

9.032.178

9.445.775

9.777.513

2.212.581

2.231.060

2.413.809

6.533.690

6.991.668

7.284.355

7.636.263

1.746.482

1.863.865

1.895.805

3.965.939

4.162.977

5.989.122

6.147.081

1.277.727

1.310.630

1.351.926

3.965.939

4.210.647

4.391.025

5.205.741

Rata-rata

2.302.373

3.109.560

3.048.058

2.234.509

2.001.620

2.597.680

3.043.594

6.252.365

5.043.347

3.681.610

3.101.948

Sumber : BPS Provinsi Jambi


Dari tabel 4.3 dapat dilihat jumlah PDRB per kapita masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi tahun 2001-2007. Jika dibandingkan PDRB per kapita di semua kabupaten/kota tersebut, maka Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan kabupaten yang memiliki PDRB per kapita terbesar dengan rata-rata tahun 2001-2007 sebesar Rp 6.252.365 dan Kabupaten Tebo memiliki PDRB per kapita terkecil dengan rata-rata sebesar Rp 2.001.620.

Selanjutnya dapat dilihat juga bahwa PDRB per kapita Provinsi Jambi dari tahun 2001-2007 selalu mengalami kenaikan. Pada tahun 2001 PDRB per kapita Provinsi Jambi yaitu sebesar Rp 1.277.727 naik menjadi sebesar Rp 5.205.741 pada tahun 2007, dengan rata-rata PDRB per kapita tahun 2001-2007 sebesar RP. 3.101.948.

4.2. Analisis Peranan Sektor Pertanian di Berbagai Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi (Analisis Sektor Basis)

Untuk melihat besarnya peranan dari sektor pertanian terhadap perekonomian wilayah pada berbagai daerah kabupaten/kota di Provinsi Jambi dalam penelitian ini digunakan model ekonomi basis. Pendekatan perhitungan menggunakan rumus Location Quotient (LQ) yang dihitung dengan menggunakan indikator pendapatan (nilai tambah) dari data PDRB masing-masing kabupaten/kota dan Provinsi Jambi atas dasar harga konstan 2000 tahun 2001-2007.

Apabila LQ > 1 artinya peranan sektor pertanian di kabupaten/kota yang bersangkutan lebih menonjol daripada peranan sektor pertanian di Provinsi Jambi. Sebaliknya, apabila LQ <> 1 menunjukkan bahwa peranan sektor i cukup menonjol di daerah tersebut dan seringkali sebagai petunjuk bahwa daerah tersebut surplus akan produk sektor i dan mengekspornya ke daerah lain. Daerah itu hanya mungkin mengekspor produk ke daerah lain atau luar negeri karena mampu menghasilkan produk tersebut secara lebih murah atau lebih efisien. Atas dasar itu LQ > 1 secara tidak langsung memberi petunjuk bahwa daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif untuk sektor i dimaksud (Tarigan, 2005).

Apabila hasil perhitungan nilai LQ=1 maka daerah tersebut tidak melakukan ekspor dan juga tidak melakukan impor, dengan kata lain sektor tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan daerahnya. Dengan menggunakan rumus LQ selama periode 2001-2007 diperoleh nilai Location Quotient sektor pertanian diberbagai daerah kabupaten/kota di Provinsi Jambi, seperti terlihat pada tabel 4.4 berikut:

Tabel 4.4. Nilai Location Quotient (LQ) sektor pertanian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi tahun 2001-2007.

No.

Kabupaten/Kota

Tahun

Rata-rata

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Merangin

Tebo

Kerinci

Sarolangun

Bungo

Batang Hari

Muaro Jambi

Tanjab. Barat

Tanjab. Timur

Kota Jambi

1,87

1,74

1,61

1,66

1,56

1,11

1,04

0,76

0,72

0,09

1,86

1,75

1,63

1,62

1,56

1,11

1,05

0,77

0,71

0,09

1,81

1,78

1,64

1,62

1,56

1,11

1,06

0,77

0,73

0,08

1,76

1,75

1,64

1,62

1,52

1,10

1,06

0,75

0,76

0,08

1,76

1,76

1,66

1,58

1,48

1,10

1,08

0,75

0,79

0,08

1,64

1,59

1,57

1,47

1,35

1,05

1,04

0,72

0,78

0,07

1,53

1,63

1,61

1,44

1,29

1,06

1,07

0,73

0,76

0,07

1,75

1,71

1,62

1,57

1,47

1,09

1,06

0,75

0,75

0.08

Sumber : Lampiran 9 (lanjutan).

Dari tabel 4.4 di atas terlihat bahwasanya selama periode 2001-2007 di Provinsi Jambi terdapat 7 kabupaten yang merupakan sektor pertanian sebagai sektor basis bagi perekonomian wilayahnya, yaitu Kabupaten Merangin, Tebo, Kerinci, Sarolangun, Bungo, Batang Hari dan Muaro Jambi. Hal ini terlihat dari nilai LQ masing-masing daerah tersebut lebih besar dari satu. Sedangkan untuk Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, dan Kota Jambi sektor pertanian tidak merupakan sektor basis bagi ketiga daerah tersebut, karena nilai LQnya lebih kecil dari satu.

Dari ketujuh kabupaten tersebut nilai LQ terbesar terdapat pada Kabupaten Merangin dengan rata-rata sebesar 1,75. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian lebih menonjol di daerah ini daripada keenam daerah basis sektor pertanian lainnya. Sedangkan nilai LQ terkecil berada pada Kabupaten Muaro Jambi dengan rata-rata LQ sebesar 1,06.

Seperti dijelaskan sebelumnya, sektor pertanian tersebut terdiri dari 5 sub sektor yaitu, sub sektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, kehutanan, dan perikanan. Untuk itu perlu dilihat lebih jauh khususnya untuk kabupaten/kota yang memiliki sektor basis terhadap sektor pertanian. Dengan kata lain secara spesifik perlu diketahui kalau sektor pertanian itu merupakan sektor basis di daerah tersebut, pada sub sektor mana saja yang merupakan sub sektor basis, sehingga dapat diketahui sub sektor yang potensial untuk dikembangkan di masa yang akan datang. Nilai LQ untuk masing-masing sub sektor pertanian setiap kabupaten/kota di Provinsi Jambi tahun 2001-2007 dapat dilihat pada lampiran 9 (lanjutan).

Dari lampiran 9 (lanjutan) tersebut dapat dilihat bahwa nilai LQ masing-masing sub sektor pertanian untuk masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi sangat berfluktuasi. Pada umumnya nilai LQ paling menonjol terdapat pada sub sektor kehutanan kecuali di 4 daerah, yaitu Kabupaten Kerinci nilai LQ tertinggi berada pada sub sektor tanaman bahan makanan, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, dan Kota Jambi nilai LQ tertinggi berada pada sub sektor perikanan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi memiliki keunggulan komparatif sub sektor pertanian yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Selanjutnya dapat diidentifikasikan daerah-daerah yang memiliki sub sektor basis (memiliki keunggulan komparatif) untuk masing-masing sub sektor pertanian tersebut. Sub sektor basis inilah yang berpotensi untuk dikembangkan di masa yang akan datang pada tiap-tiap daerah yang bersangkutan.

1. Sub sektor tanaman bahan makanan.

Sub sektor ini basis dan berpotensi untuk dikembangkan pada daerah-daerah yang terdapat dalam tabel 4.5 berikut.

Tabel 4.5. Daerah basis sub sektor tanaman bahan makanan berdasarkan nilai LQ tahun 2001-2007

No.

Kabupaten

Location Quotient (LQ)

Rata-rata

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Kerinci

Merangin

Bungo

Sarolangun

Tanjab. Timur

Tebo

2,07

2,12

1,60

1,43

1,19

1,02

2,12

2,09

1,59

1,44

1,16

1,00

2,17

2,01

1,59

1,40

1,19

1,00

2,18

1,93

1,56

1,33

1,20

0,96

2,21

1,83

1,48

1,27

1,22

0,93

2,21

1,75

1,37

1,36

1,24

0,86

2,29

1,70

1,31

1,29

1,21

0,85

2,18

1,92

1,50

1,36

1,20

0,95

Sumber : Lampiran 9 (lanjutan)

Dari tabel 4.5 di atas dapat dilihat bahwa adanya perubahan nilai LQ pada masing-masing kabupaten tersebut. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran atau perubahan keunggulan komparatif (Comparative Advantage) sub sektor tanaman bahan makanan antar kabupaten tersebut.

Pada tahun 2001 sub sektor tanaman bahan makanan mempunyai peranan yang lebih menonjol di Kabupaten Merangin (2,12), Kerinci (2,07), Bungo (1,60), Sarolangun (1,43), Tanjung Jabung Timur (1,19), dan Tebo (1,02). Sedangkan pada tahun 2007 daerah-daerah tersebut mengalami penurunan dan kenaikan nilai LQ, sehingga urutannya berubah menjadi Kabupaten Kerinci (2,29) dengan rata-rata nilai LQ tahun 2001-2007 sebesar 2,18, Merangin (1,70) dengan rata-rata nilai LQ sebesar 1,92, Bungo (1,31) dengan rata-rata nilai LQ sebesar 1,50, Sarolangun (1,29) dengan rata-rata nilai LQ sebesar 1,36, dan Tanjung Jabung Timur (1,21) dengan rata-rata nilai LQ sebesar 1,20. Sedangkan sub sektor tanaman bahan makanan Kabupaten Tebo hanya pada tahun 2001 yang merupakan sub sektor basis, pada tahun-tahun berikutnya sub sektor ini tidak lagi basis bagi perekonomian wilayahnya, dengan rata-rata nilai LQ tahun 2001-2007 sebesar 0,95.

Dari 6 kabupaten yang memiliki sub sektor tanaman bahan makanan basis, hanya 2 kabupaten yang mengalami kenaikan nilai LQ antara tahun 2001 dan 2007 yaitu Kabupaten Kerinci dan Tanjung Jabung Timur. Kenaikan nilai LQ kedua kabupaten tersebut dikarenakan pertumbuhan sub sektor yang bersangkutan lebih tinggi daripada pertumbuhan sub yang sama di tingkat nasional (Provinsi Jambi). Dimana rata-rata laju pertumbuhan sub sektor tanaman bahan makanan Kabupaten Kerinci tahun 2001-2007 adalah sebesar 5,97 % dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 6,29 %, lebih tinggi dibandingkan rata-rata laju pertumbuhan sub sektor tanaman bahan makanan Provinsi Jambi yang hanya 4,72 % pada periode yang sama. Sedangkan 4 kabupaten lainnya (Kabupaten Merangin, Bungo, Sarolangun, dan Tebo) nilai LQnya pada tahun 2007 mengalami penurunan dari tahun 2001 dikarenakan rata-rata laju pertumbuhan sub sektor tersebut lebih rendah dari pada rata-rata laju pertumbuhan sub sektor yang sama di Provinsi Jambi yang masing-masingnya adalah sebesar 0,15 %, 1,59 %, 3,46 %, dan 1,39 % (lihat kembali tabel 4.1).

2. Sub sektor tanaman perkebunan

Sub sektor ini basis dan berpotensi untuk dikembangkan pada daerah-daerah yang terdapat dalam tabel 4.6 berikut.

Tabel 4.6. Daerah basis sub sektor tanaman perkebunan berdasarkan nilai LQ tahun 2001-2007

No.

Kabupaten

Location Quotient (LQ)

Rata-rata

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Tebo

Sarolangun

Kerinci

Merangin

Bungo

Batang Hari

Muaro Jambi

2,11

1,70

1,69

1,25

1,42

1,32

1,22

2,09

1,65

1,62

1,27

1,37

1,31

1,24

2,18

1,68

1,60

1,34

1,37

1,31

1,25

2,16

1,68

1,54

1,41

1,38

1,30

1,26

2,20

1,67

1,53

1,46

1,37

1,32

1,29

1,80

1,26

1,28

1,31

1,13

1,12

1,11

1,91

1,23

1,32

1,37

1,11

1,16

1,16

2,06

1,55

1,51

1,34

1,31

1,26

1,22

Sumber : Lampiran 9 (lanjutan)

Dari tabel 4.6 dapat dilihat kabupaten yang mengalami pergeseran atau perubahan keunggulan komparatif sub sektor tanaman perkebunan yang ditandai dengan perubahan nilai LQ sub sektor yang bersangkutan pada masing-masing kabupaten tersebut. Kabupaten yang mengalami kenaikan nilai LQ antara tahun 2001 dan 2007 hanyalah Kabupaten Merangin, hal ini dikarenakan tingginya rata-rata laju pertumbuhan sub sektor tanaman perkebunan kabupaten tersebut tahun 2001-2007 yaitu 9,99 %, lebih tinggi daripada rata-rata laju pertumbuhan sub sektor tanaman perkebunan Provinsi Jambi yang hanya 9,16 % selama periode waktu yang sama (lihat kembali tabel 4.1).

Sedangkan 6 kabupaten lainnya mengalami penurunan nilai LQ yang disebabkan rendahnya rata-rata laju pertumbuhan sub sektor tersebut tahun 2001-2007 dan berada di bawah pertumbuhan sub sektor yang sama Provinsi Jambi. Dimana rata-rata laju pertumbuhan sub sektor tanaman perkebunan masing-masing kabupaten tersebut yaitu Kabupaten Tebo sebesar 7,16 %, Sarolangun sebesar 3,89 %, Kerinci sebesar 4,25 %, Bungo sebesar 5,15 %, Batang Hari sebesar 6,03 %, dan Muaro Jambi sebesar 6,33 % (tabel 4.1).

3. Sub sektor peternakan dan hasil-hasilnya

Sub sektor ini basis dan berpotensi untuk dikembangkan pada daerah-daerah yang terdapat dalam tabel 4.7 berikut.

Tabel 4.7. Daerah basis sub sektor peternakan dan hasil-hasilnya berdasarkan nilai LQ tahun 2001-2007

No.

Kabupaten

Location Quotient (LQ)

Rata-rata

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Tebo

Sarolangun

Bungo

Kerinci

Batang Hari

Muaro Jambi

Merangin

2,61

1,93

2,33

1,81

1,49

1,41

1,17

2,55

2,03

2,25

1,81

1,48

1,37

1,15

2,52

2,46

2,22

1,73

1,43

1,34

1,15

2,48

2,57

2,12

1,68

1,41

1,27

1,11

2,51

2,49

2,09

1,72

1,43

1,23

1,10

2,59

2,72

2,24

1,88

1,50

1,31

1,19

2,70

2,92

2,21

1,96

1,51

1,33

1,25

2,57

2,45

2,21

1,80

1,46

1,32

1,16

Sumber : Lampiran 9 (lanjutan)

Dari tabel 4.7 di atas dapat dilihat bahwa dari 7 kabupaten basis sub sektor peternakan dan hasil-hasilnya, ada 3 kabupaten yang mengalami penurunan nilai LQ antara tahun 2001 dan 2007, yaitu Kabupaten Bungo dan Muaro Jambi. Hal ini dikarenakan rata-rata laju pertumbuhan sub sektor peternakan kedua kabupaten tersebut yang hanya 3,59 % dan 1,42 %, lebih rendah daripada rata-rata laju pertumbuhan sub sektor yang sama Provinsi Jambi yaitu sebesar 4,14 %. Sedangkan 5 kabupaten lainnya mengalami kenaikan nilai LQ antara tahun 2001 dan 2007. Kabupaten Sarolangun mengalami kenaikan yang sangat mencolok, yaitu dari nilai LQ (1,93) tahun 2001 menjadi (2,92) tahun 2007 hal ini dikarenakan tingginya rata-rata laju pertumbuhan sub sektor peternakan di kabupaten ini yang mencapai 12,07 % selama tahun 2001-2007 (tabel 4.1).

4. Sub sektor kehutanan

Sub sektor ini basis dan berpotensi untuk dikembangkan pada daerah-daerah yang terdapat dalam tabel 4.8 berikut.

Tabel 4.8. Daerah basis sub sektor kehutanan berdasarkan nilai LQ tahun 2001-2007

No.

Kabupaten

Location Quotient (LQ)

Rata-rata

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Merangin

Tebo

Bungo

Sarolangun

Muaro Jambi

Batang Hari

Tanjab. Barat

4,03

2,96

2,03

2,43

1,54

1,42

1,16

4,40

3,44

2,33

2,13

1,58

1,68

1,26

4,32

3,53

2,55

1,94

1,68

1,75

1,02

4,09

3,61

2,26

2,08

1,73

1,75

0,80

4,42

3,81

2,40

2,11

1,84

1,76

0,75

3,92

3,68

2,32

2,19

2,01

1,68

0,76

2,19

3,72

2,26

2,24

2,16

1,58

0,78

3,91

3,54

2,31

2,16

1,77

1,67

0,93

Sumber : Lampiran 9 (lanjutan)

Dari tabel 4.8 di atas dapat dilihat bahwa dari 7 kabupaten yang merupakan daerah basis sub sektor kehutanan, terdapat 3 kabupaten yang mengalami penurunan nilai LQ antara tahun 2001 dan 2007 yaitu Kabupaten Merangin, Sarolangun, dan Tanjung Jabung Barat. Hal ini dikarenakan rata-rata laju pertumbuhan sub sektor kehutanan ketiga kabupaten tersebut lebih rendah daripada rata-rata laju pertumbuhan sub sektor yang sama di Provinsi Jambi, yang masing-masingnya adalah -14,02 %, -5,04 %, dan -8,52 %, sedangkan rata-rata laju pertumbuhan sub sektor kehutanan Provinsi Jambi yaitu -4,09 %.

Sedangkan 4 kabupaten lainnya (Tebo, Bungo, Muaro Jambi, dan Batang Hari) mengalami kenaikan nilai LQ antara tahun 2001 dan 2007. Umumnya daerah-daerah tersebut memiliki rata-rata laju pertumbuhan sub sektor kehutanan lebih tinggi daripada Provinsi Jambi, kecuali Kabupaten Batang Hari yang laju pertumbuhannya -4,29 % sedikit lebih rendah dari pada rata-rata laju pertumbuahan sub sektor yang sama di Provinsi Jambi.

5. Sub sektor perikanan

Sub sektor ini basis dan berpotensi untuk dikembangkan pada daerah-daerah yang terdapat dalam tabel 4.9 berikut.

Tabel 4.9. Daerah basis sub sektor perikanan berdasarkan nilai LQ tahun 2001-2007

No.

Kabupaten

Location Quotient (LQ)

Rata-rata

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Tanjab. Timur

Tanjab. Barat

Muaro Jambi

Batang Hari

Sarolangun

Merangin

2,08

1,90

1,18

1,07

1,11

0,99

2,24

1,98

1,20

1,08

1,08

0,98

2,38

1,88

1,18

1,10

1,06

0,94

2,86

1,92

1,29

1,22

1,15

1,00

3,18

1,79

1,28

1,24

1,14

0,99

5,04

2,59

1,78

1,83

1,54

1,49

4,42

2,24

1,56

1,60

1,33

1,39

3,17

2,04

1,35

1,31

1,20

1,11

Sumber : Lampiran 9 (lanjutan)

Dari tabel 4.9 dapat dilihat bahwa selama periode tahun 2001-2007 sub sektor perikanan didominasi oleh Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat, kenyataan ini tidak terlepas dari adanya laut di kedua daerah tersebut sehingga hasil perikanan laut sangat mendukung nilai tambah sub sektor perikanan dikedua daerah tersebut. Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki keunggulan komparatif yang paling menonjol pada sub sektor ini, hal ini ditunjukkan dengan nilai LQnya yang paling tinggi yaitu 2,08 tahun 2001 dan 4,42 tahun 2007 dengan rata-rata LQ tahun 2001-2007 adalah 3,17.

Selain itu dapat diketahui juga bahwa semua kabupaten basis sub sektor perikanan mengalami kenaikan nilai LQ antara tahun 2001-2007. Hal ini di karenakan rata-rata laju pertumbuhan sub sektor perikanan di semua kabupaten tersebut lebih tinggi daripada rata-rata laju pertumbuhan sub sektor yang sama di Provinsi Jambi. Kabupaten Tanjung Jabung Timur mengalami kenaikan nilai LQ yang paling mencolok diantara semua kabupaten tersebut dengan rata-rata laju pertumbuhannya sebesar 17,06 %, jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan sub sektor yang sama di Provinsi Jambi yang hanya 1,95 % (lihat kembali tabel 4.1).

Selanjutnya dari hasil perhitungan Location Quotient (LQ) sektor dan sub sektor pertanian untuk masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi, maka dapat diidentifikasikan sektor dan sub sektor-sub sektor basis masing-masing kabupaten/kota tersebut, seperti terlihat pada tabel 4.10 berikut:

Tabel 4.10. Rekapitulasi hasil penentuan sektor dan sub sektor pertanian yang merupakan sektor dan sub sektor basis bagi perekonomian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi tahun 2001-2007

No.

Kab./Kota

Sektor Basis/

Non Basis

Sub Sektor Basis

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Merangin

Tebo

Kerinci

Sarolangun

Bungo

Batang Hari

Muaro Jambi

Tanjab. Barat

Tanjab. Timur

Kota Jambi

Basis

Basis

Basis

Basis

Basis

Basis

Basis

Non Basis

Non Basis

Non Basis

Tan.bahan makanan, Tan.perkebunan, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan (2006-2007)

Tan. bahan makanan (2001), Tan. perkebunan, Peternakan, & Kehutanan

Tan.bahan makanan, Tan.perkebunan, dan Peternakan

Tan.bahan makanan, Tan.perkebunan, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan

Tan.bahan makanan, Tan.perkebunan, Peternakan, dan Kehutanan

Tan. perkebunan, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan

Tan. perkebunan, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan

Kehutanan (2001-2003) & Perikanan

Tan. bahan makanan dan perikanan

-

Sumber : Tabel 4.4-4.9.

4.3. Analisis Dampak Sektor Pertanian Yang Merupakan Sektor Basis Bagi Perekonomian Masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi (Analisis Pengganda Basis/Multiplier Effect = MS).

Berdasarkan konsep ekonomi basis wilayah, laju pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu wilayah dapat terjadi karena adanya efek multiplir (pengganda) pendapatan sektor basis terhadap pendapatan wilayah secara keseluruhan. Mekanisme multiplier (pengganda) tersebut bekerja melalui aktifitas pembelanjaan kembali dari setiap komponen pendapatan dari sektor basis yang diperoleh dari transaksi penjualan barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perekonomian wilayah.

Pembelanjaan tersebut biasanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daerah (lokal) serta untuk membiayai kegiatan investasi pada sektor basis. Kekuatan efek multiplier inilah yang mendorong pertumbuhan perekonomian wilayah yang ditunjukkan oleh besaran angka pengganda (multiplier).

Dari hasil dan pembahasan sebelumnya telah diketahui bahwa sektor pertanian basis pada 7 kabupaten di Provinsi Jambi selama periode 2001-2007. Dengan menggunakan rumus efek pengganda sektor basis maka diperoleh koefisien angka pengganda sektor pertanian pada 7 kabupaten tersebut, seperti terdapat dalam tabel 4.11 berikut:

Tabel 4.11. : Koefisien angka pengganda (multiplier effect = MS) sektor pertanian di berbagai kabupaten/kota Provinsi Jambi tahun 2001- 2007

No.

Kab./Kota

Tahun

Rata-rata

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Muaro Jambi

Batang Hari

Bungo

Sarolangun

Kerinci

Merangin

Tebo

3,07

2,89

2,04

1,92

1,99

1,71

1,84

3,07

2,90

2,07

2,00

1,98

1,74

1,85

3,09

2,93

2,10

2,01

2,00

1,80

1,83

3,09

2,97

2,17

2,02

2,00

1,86

1,87

3,07

3,00

2,23

2,09

2,00

1,88

1,73

3,03

3,01

2,34

2,15

2,01

1,92

1,87

2,99

3,05

2,49

2,24

1,99

2,10

1,97

3,06

2,96

2,21

2,06

2,00

1,86

1,85

Sumber : Lampiran 10

Dari tabel 4.11 di atas dapat dilihat bahwasanya angka pengganda (multiplier) sektor pertanian untuk masing-masing kabupaten cukup berfluktuasi selama periode 2001-2007. Untuk Kabupaten Muaro Jambi angka pengganda pendapatan sekor pertanian terendah pada tahun 2007 sebesar 2,99, ini berarti bahwa setiap Rp 1,00 pendapatan dari sektor basis atau sektor pertanian cenderung akan menghasilkan penambahan pendapatan wilayah sebesar Rp 3,01. Sedangkan nilai multiplier tertinggi pada tahun 2003 dan 2004 yaitu sebesar 3,09, berarti bahwa, setiap Rp 1,00 pendapatan dari sektor basis atau sektor pertanian cenderung akan menghasilkan penambahan pendapatan wilayah sebesar Rp 3,09. Demikian juga halnya arti dari koefisien angka pengganda setiap tahun untuk kabupaten lainnya.

Berdasarkan hasil perhitungan angka pengganda pendapatan sektor pertanian tersebut, dapat diketahui perubahan (pertumbuhan) pendapatan total wilayah masing-masing kabupaten sebagai akibat dari perubahan pendapatan sektor pertanian. Perubahan pendapatan sektor pertanian (YB) merupakan perkembangan/perubahan pendapatan sektor pertanian dari tahun ke tahun, atau dengan kata lain merupakan pertumbuhan sektor pertanian sebenarnya (pertumbuhan absolut/aktual).

Tabel 4.12. Perubahan pendapatan wilayah Kabupaten Muaro Jambi akibat dari perubahan pendapatan sektor basis (pertanian) tahun 2001-2007

Tahun

MS*

YB

(Juta Rupiah)**

YB

(Juta Rupiah)***

Y

(Juta Rupiah)***

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

3,07

3,07

3,09

3,09

3,07

3,03

2,99

259.277,26

265.265,25

272.629,36

283.329,47

298.568,71

316.938,26

336.641,09

-

5.987,99

7.364,11

10.700,11

15.239,24

18.369,55

19.702,83

-

18.383,13

22.755,10

33.063,34

46.784,47

55.659,74

58.911,46

Rata-rata

39.259,54

Sumber : * Tabel 4.11, ** Lampiran 1-7, *** Data Hasil Olahan

Dari tabel 4.12 dapat dilihat perubahan pendapatan wilayah Kabupaten Muaro Jambi dari tahun ke tahun, yang diakibatkan oleh adanya perubahan pendapatan basis (sektor pertanian). Perubahan pendapatan basis tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar Rp 19.702,83 juta, sehingga dengan nilai multiplier 2,99 pada tahun tersebut mengakibatkan peningkatan pendapatan wilayah Kabupaten Muaro Jambi sebesar Rp 58.911,46 juta. Sedangkan perubahan pendapatan basis terendah terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar Rp 5.987,99 juta, sehingga dengan nilai multiplier 3,07 pada tahun tersebut mengakibatkan peningkatan pendapatan wilayah sebesar Rp 18.383,13 juta. Rata-rata perubahan pendapatan wilayah yang disebabkan oleh perubahan pendapatan basis sebesar Rp 39.259,54 juta selama periode 2001-2007.

Tabel 4.13. Perubahan pendapatan wilayah Kabupaten Batang Hari akibat dari perubahan pendapatan sektor basis (pertanian) tahun 2001-2007

Tahun

MS*

YB

(Juta Rupiah)**

YB

(Juta Rupiah)***

Y

(Juta Rupiah)***

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2,89

2,90

2,93

2,97

3,00

3,01

3,05

260.611,85

269.762,04

277.612,73

288.248,11

302.400,04

316.600,04

330.410,34

-

9.150,19

7.850,69

10.635,38

14.151,93

14.200,00

13.810,30

-

26.535,55

23.002,52

31.587,08

42.455,79

42.742,00

42.121,42

Rata-rata

34.740,73

Sumber : * Tabel 4.11, ** Lampiran 1-7, *** Data Hasil Olahan

Dari tabel 4.13 dapat dilihat perubahan pendapatan wilayah Kabupaten Batang Hari tahun 2001-2007, yang diakibatkan oleh adanya perubahan pendapatan basis (sektor pertanian). Perubahan pendapatan basis tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar Rp 14.200,00 juta, sehingga dengan nilai multiplier 3,01 pada tahun tersebut mengakibatkan peningkatan pendapatan wilayah Kabupaten Batang Hari sebesar Rp 42.742,00 juta. Sedangkan perubahan pendapatan basis terendah terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar Rp 7.850,69 juta, sehingga dengan nilai multiplier 2,93 pada tahun tersebut menyebabkan peningkatan pendapatan wilayah sebesar Rp 23.002,52 juta. Rata-rata perubahan pendapatan wilayah yang disebabkan oleh perubahan pendapatan basis sebesar Rp 34.740,73 juta selama periode 2001-2007.

Tabel 4.14. Perubahan pendapatan wilayah Kabupaten Bungo akibat dari perubahan pendapatan sektor basis (pertanian) tahun 2001-2007

Tahun

MS*

YB

(Juta Rupiah)**

YB

(Juta Rupiah)***

Y

(Juta Rupiah)***

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2,04

2,07

2,10

2,17

2,23

2,34

2,49

347.571,70

357.620,12

370.365,25

376.061,96

384.434,22

397.648,56

407.293,89

-

10.048,42

12.745,13

5.696,71

8.372,26

13.214,34

9.645,33

-

20.800,23

26.764,77

12.361,86

18.670,14

30.921,56

24.016,87

Rata-rata

22.255,90

Sumber : * Tabel 4.11, ** Lampiran 1-7, *** Data Hasil Olahan

Dari tabel 4.14 dapat dilihat perubahan pendapatan wilayah Kabupaten Bungo tahun 2001-2007, yang diakibatkan oleh adanya perubahan pendapatan basis (sektor pertanian). Perubahan pendapatan basis tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar Rp 13.214,34 juta, sehingga dengan nilai multiplier 2,34 pada tahun tersebut mengakibatkan peningkatan pendapatan wilayah Kabupaten Bungo sebesar Rp 30.921,56 juta. Sedangkan perubahan pendapatan basis terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar Rp 5.696,71 juta, sehingga dengan nilai multiplier 2,17 pada tahun tersebut menyebabkan peningkatan pendapatan wilayah sebesar Rp 12.361,86 juta. Rata-rata perubahan pendapatan wilayah yang disebabkan oleh perubahan pendapatan basis sebesar Rp 21.799,41 juta selama periode 2001-2007.

Tabel 4.15. Perubahan pendapatan wilayah Kabupaten Sarolangun akibat dari perubahan pendapatan sektor basis (pertanian) tahun 2001-2007

Tahun

MS*

YB

(Juta Rupiah)**

YB

(Juta Rupiah)***

Y

(Juta Rupiah)***

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

1,92

2,00

2,01

2,02

2,09

2,15

2,24

354.688,77

360.973,57

371.736,00

392.974,00

406.622,00

426.627,00

435.551,00

-

6.284,80

10.762,43

21.238,00

13.648,00

20.005,00

8.924,00

-

12.569,60

21.632,48

42.900.76

28.524,32

43.010,75

19.989,76

Rata-rata

28.104,61

Sumber : * Tabel 4.11, ** Lampiran 1-7, *** Data Hasil Olahan

Dari tabel 4.15 dapat dilihat perubahan pendapatan wilayah Kabupaten Sarolangun tahun 2001-2007, yang diakibatkan oleh adanya perubahan pendapatan basis (sektor pertanian). Perubahan pendapatan basis tertinggi terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar Rp 21.238,00 juta, sehingga dengan nilai multiplier 2,02 pada tahun tersebut mengakibatkan peningkatan pendapatan wilayah Kabupaten Sarolangun sebesar Rp 42.900.76 juta. Sedangkan perubahan pendapatan basis terendah terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 6.284,80 juta, sehingga dengan nilai multiplier 2,00 pada tahun tersebut menyebabkan peningkatan pendapatan wilayah sebesar Rp 12.569,60 juta. Rata-rata perubahan pendapatan wilayah yang disebabkan oleh perubahan pendapatan basis sebesar Rp 28.104,61 juta selama periode 2001-2007.

Tabel 4.16. Perubahan pendapatan wilayah Kabupaten Kerinci akibat dari perubahan pendapatan sektor basis (pertanian) tahun 2001-2007

Tahun

MS*

YB

(Juta Rupiah)**

YB

(Juta Rupiah)***

Y

(Juta Rupiah)***

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

1,99

1,98

2,00

2,00

2,00

2,01

1,99

521.660,13

545.444,02

567.490,06

595.082,83

628.435,70

661.296,60

705.539,25

-

23.783,89

22.046,04

27.592,77

33.352,87

32.860,90

44.242,65

-

47.092,10

44.092,08

55.185,54

66.705,74

66.050,41

88.042,87

Rata-rata

61.194,79

Sumber : * Tabel 4.11, ** Lampiran 1-7, *** Data Hasil Olahan

Dari tabel 4.16 dapat dilihat perubahan pendapatan wilayah Kabupaten Kerinci tahun 2001-2007, yang diakibatkan oleh adanya perubahan pendapatan basis (sektor pertanian). Perubahan pendapatan basis tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar Rp 44.242,65 juta, sehingga dengan nilai multiplier 1,99 pada tahun tersebut mengakibatkan peningkatan pendapatan wilayah Kabupaten Kerinci sebesar Rp 88.042,87 juta. Sedangkan perubahan pendapatan basis terendah terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 22.046,04 juta, sehingga dengan nilai multiplier 2,00 pada tahun tersebut menyebabkan peningkatan pendapatan wilayah sebesar Rp 44.092,08 juta. Rata-rata perubahan pendapatan wilayah yang disebabkan oleh perubahan pendapatan basis sebesar Rp 61.194,79 juta selama periode 2001-2007.

Tabel 4.17. Perubahan pendapatan wilayah Kabupaten Merangin akibat dari perubahan pendapatan sektor basis (pertanian) tahun 2001-2007

Tahun

MS*

YB

(Juta Rupiah)**

YB

(Juta Rupiah)***

Y

(Juta Rupiah)***

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

1,71

1,74

1,80

1,86

1,88

1,92

2,10

419.243,65

427.291,72

427.514,32

435.006,39

451.577,89

465.417,81

455.364,25

-

8.048,07

222,60

7.492,07

16.571,50

13.839,92

-10.053,56

-

14.003,64

400,68

13.935,25

31.154,42

26.572,65

-21.112,48

Rata-rata

10.825,69

Sumber : * Tabel 4.11, ** Lampiran 1-7, *** Data hasil olahan

Dari tabel 4.17 dapat dilihat perubahan pendapatan wilayah Kabupaten Merangin tahun 2001-2007, yang diakibatkan oleh adanya perubahan pendapatan basis (sektor pertanian). Perubahan pendapatan basis tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar Rp 16.571,50 juta, sehingga dengan nilai multiplier 1,88 pada tahun tersebut mengakibatkan peningkatan pendapatan wilayah Kabupaten Merangin sebesar Rp 31.154,42 juta. Pada tahun 2007 terjadi penurunan pendapatan sektor pertanian yaitu sebesar -10.053,56 juta, sehingga dengan nilai multiplier 2,10 pada tahun tersebut menyebabkan penurunan pendapatan wilayah sebesar Rp -21.112,48 juta. Rata-rata perubahan pendapatan wilayah yang disebabkan oleh perubahan pendapatan basis sebesar Rp 10.825,69 juta selama periode 2001-2007.

Tabel 4.18. Perubahan pendapatan wilayah Kabupaten Tebo akibat dari perubahan pendapatan sektor basis (pertanian) tahun 2001-2007

Tahun

MS*

YB

(Juta Rupiah)**

YB

(Juta Rupiah)***

Y

(Juta Rupiah)***

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

1,84

1,85

1,83

1,87

1,73

1,87

1,97

302.627,74

314.554,97

329.180,94

337.961,87

352.220,34

367.341,98

390.421,49

-

11.927,23

14.625,97

8.780,93

14.258,47

15.121,64

23.079,51

-

22.065,38

26.765,53

16.420,34

24.667,15

28.277,47

45.466,63

Rata-rata

27.277,08

Sumber : * Tabel 4.11, ** Lampiran 1-7, *** Data Hasil Olahan

Dari tabel 4.18 dapat dilihat perubahan pendapatan wilayah Kabupaten Tebo tahun 2001-2007, yang diakibatkan oleh adanya perubahan pendapatan basis (sektor pertanian). Perubahan pendapatan basis tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar Rp 23.079,51 juta, sehingga dengan nilai multiplier 1,97 pada tahun tersebut mengakibatkan peningkatan pendapatan wilayah Kabupaten Tebo sebesar Rp 45.466,63 juta. Sedangkan perubahan pendapatan basis terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar Rp 8.780,93 juta, sehingga dengan nilai multiplier 1,87 pada tahun tersebut menyebabkan peningkatan pendapatan wilayah sebesar Rp 16.420,34 juta. Rata-rata perubahan pendapatan wilayah yang disebabkan oleh perubahan pendapatan basis sebesar Rp 27.277,08 juta selama periode 2001-2007.

4.4. Analisis Struktur Pertumbuhan Sektor Pertanian Untuk Masing-masing Sub Sektor Pertanian Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi (Analisis Shift-Share)

Analisis Shift-Share merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk mengetahui perubahan dan pergeseran sektor atau industri pada perekonomian regional maupun lokal. Analisis Shift-Share menggambarkan kinerja sektor-sektor di suatu wilayah dibandingkan dengan perekonomian nasional. Bila suatu daerah memperoleh kemajuan sesuai dengan kedudukannya dalam perekonomian nasional, maka akan dapat ditemukan adanya Shift (pergeseran) hasil pembangunan perekonomian daerah. Selain itu, laju pertumbuhan sektor-sektor di suatu wilayah akan dibandingkan dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional beserta sektor-sektornya. Kemudian dilakukan analisis terhadap penyimpangan yang terjadi sebagai hasil dari perbandingan tersebut. Bila penyimpangan itu positif, hal itu disebut keunggulan kompetitif dari suatu sektor dalam wilayah tersebut (Soepono dalam Seputro, 2008).

Tabel 4.19. Hasil analisis Shift-Share sektor pertanian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi Tahun 2001-2001 (juta rupiah)

No.

Kab./Kota

Komponen

Perubahan/

pertumbuhan

absolut

(y)

Pertumbuhan Nasional

(R)

Struktural

(industrial mix)

(P)

Keunggulan

Kompetitif

(D)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Kerinci

Tanjabtim

Tanjabbar

Tebo

Sarolangun

Ma. Jambi

Bt. Hari

Bungo

Merangin

Jambi

155.558,22

91.167,01

84.760,95

90.243,12

105.767,64

77.316,08

77.714,04

103.645,33

125.017,79

16.985,11

32.502,23

9.198,26

6.084,63

-6.314,38

-5.301,03

4.135,36

3.131,49

-8.672,78

-37.802,12

3.038,34

-4.181,33

79.800,62

55.119,36

3.865,02

-19.604,35

-4.087,60

-11.047,05

-35.250,36

-51.095,10

-13.519,21

183.879,12

180.165,89

145.964,94

87.793,76

80.862,26

77.363,84

69.798,48

59.722,19

36.120,57

6.504,24

Sumber : Lampiran 14-17

Hasil analisis Shift-Share di atas menunjukkan bahwa selama periode 2001-2007, nilai tambah sektor pertanian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi telah mengalami perubahan atau pertumbuhan. Pertumbuhan tertinggi terdapat pada Kabupaten Kerinci yaitu sebesar Rp. 183.879,12 juta, artinya selama tahun 2001-2007 nilai tambah sektor pertanian di Kabupaten Kerinci telah tumbuh/bertambah sebesar Rp. 183.879,11 juta. Sedangkan pertumbuhan sektor pertanian terendah yaitu Kota Jambi dengan pertumbuhan sebesar Rp. 6.504,24 juta. Pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh komponen pertumbuhan sektor pertanian nasional (R), struktur pertanian regional (P), dan keunggulan kompetitif atau keuntungan lokasi (D).

Menurut perhitungan komponen pertumbuhan sektor pertanian nasional (R), pertumbuhan sektor pertanian Provinsi Jambi telah mempengaruhi pertumbuhan sektor pertanian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Untuk Kabupaten Kerinci, pertumbuhan sektor pertanian Provinsi Jambi telah mempengaruhi pertumbuhan sektor pertanian Kabupaten Kerinci sebesar Rp. 155.558,22 juta atau 84,60 %. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian di Kabupaten Kerinci lebih tinggi daripada pertumbuhan sektor pertanian Provinsi Jambi.

Akan tetapi, ada kabupaten yang pertumbuhan sektor pertaniannya lebih rendah daripada pertumbuhan sektor pertanian nasionalnya. Sebagai contoh Kota Jambi, dimana sektor pertanian Provinsi Jambi telah mempengaruhi sektor pertanian Kota Jambi sebesar Rp 16.985,11 % atau 261,14 %. Namun, sebenarnya pertumbuhan sektor pertanian Kota Jambi hanyalah sebesar Rp. 6.504,24 juta. Hal ini dikarenakan masih ada dua komponen lain yang memberikan pengaruh yaitu struktur pertanian regional dan keunggulan kompetitif sektor pertanian Kota Jambi. Demikian juga dengan kabupaten/kota lainnya, sektor pertanian Provinsi Jambi telah mempengaruhi sektor pertanian masing-masing kabupaten/kota tersebut sebesar nilai yang terdapat dalam tabel 4.19 di atas.

Struktur sektor pertanian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi, ada yang memberikan pengaruh positif dan ada juga yang negatif bagi pertumbuhan sektor pertanian masing-masing kabupaten/kota tersebut. Sebagai contoh Kabupaten Kerinci, struktur sektor pertaniannya memberikan pengaruh yang positif bagi pertumbuhan sektor pertaniannya, yaitu sebesar Rp 32.502,23 juta atau 17,68 %. Nilai positif mengidentifikasikan bahwa komposisi sub sektor pertanian Kabupaten Kerinci berspesialisasi pada sub sektor-sub sektor pertanian yang pertumbuhannya cepat di Provinsi Jambi.

Pada tabel 4.19 dapat dilihat bahwa ada 6 kabupaten/kota yang berspesialisasi pada sub sektor-sub sektor pertanian yang pertubuhannya cepat di Provinsi Jambi, yaitu Kabupaten Kerinci, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, Muaro Jambi, Batang Hari, dan Kota Jambi. Sedangkan kabupaten lain struktur sektor pertaniannya berspesialisasi pada sub sektor yang pertumbuhannya lambat di Provinsi Jambi.

Komponen keunggulan kompetitif/keuntungan lokasi mempengaruhi sektor pertanian kabupaten/kota sebesar nilai Differential Shift (D) pada tabel 4.19 di atas. Untuk Kabupaten Kerinci, komponen keunggulan kompetitif telah mempengaruhi pertumbuhan sektor pertaniannya sebesar Rp -4.181,33 juta atau --2,27 %. Nilai negatif ini menunjukkan bahwa sektor pertanian secara luas di Kabupaten Kerinci pertumbuhannya relatif lebih lambat daripada sektor pertanian Provinsi Jambi.

Pada tabel 4.19 dapat dilihat bahwa selama periode 2001-2007 di Provinsi Jambi hanya ada 3 kabupaten yang pertumbuhan sektor pertaniannya secara luas relatif lebih cepat daripada pertumbuhan sektor pertanian Provinsi Jambi, yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat dan Tebo. Hal ini ditunjukkan dengan nilai komponen Differential Shift (D) ketiga kabupaten tersebut positif. Dengan kata lain ketiga kabupaten tersebut mempunyai keunggulan kompetitif/ keuntungan lokasi pada sektor pertanian dalam arti luas relatif lebih sempurna daripada kabupaten/kota lain di Provinsi Jambi. Selanjutnya akan dibahas masing-masing komponen yang mempengaruhi perubahan atau pertumbuhan sektor pertanian masing-masing kabupaten/kota tersebut.

4.4.1. Pertumbuhan Sektor Pertanian Nasional (Regional Share = R)

Komponen ini digunakan untuk mengukur besarnya pertumbuhan sub sektor/sektor pertanian daerah seandainya pertumbuhannya sama dengan laju pertumbuhan di tingkat nasional selama periode analisa. Dengan kata lain komponen ini dapat digunakan untuk mengukur besarnya pergeseran (shift) yang terjadi seandainya laju pertumbuhan sub sektor/sektor pertanian yang dialami suatu daerah sama dengan laju pertumbuhan ditingkat nasional.

Dari hasil perhitungan, apabila pergeseran yang diperoleh suatu daerah mempunyai tanda negatif, berarti regional share yang diperoleh lebih tinggi dari pertumbuhan sub sektor/sektor pertanian sebenarnya (absolut), dengan kata lain pertumbuhan sub sektor/sektor pertanian daerah yang bersangkutan lebih rendah daripada tingkat pertumbuhan nasional, dan sebaliknya bila pergeseran yang terjadi bertanda positif. Berikut disajikan tabel nilai komponen regional share dan pergeserannya terhadap pertumbuhan absolut sektor pertanian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi.

Tabel 4.20. Nilai Regional Share (R) dan pergeserannya terhadap pertumbuhan absolut masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi tahun 2001-2007 (juta rupiah)

No.

Kab./Kota

Regional Share (R)*

Pertumbuhan Absolut**

Pergeseran (Shift)***

Persentase R (%)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Kerinci

Merangin

Sarolangun

Bungo

Tanjabtim

Tebo

Tanjabbar

Bt. Hari

Ma. Jambi

Jambi

155.558,22

125.017,79

105.767,64

103.645,33

91.167,01

90.243,12

84.760,95

77.714,04

77.316,08

16,985.11

183.879,12

36.120,57

80.862,26

59.722,19

180.165,89

87.793,76

145.964,94

69.798,48

77.363,84

6.504,24

28.320,90

-88.897,22

-24.905,38

-43.923,14

88.998,88

-2.449,36

61.203,99

-7.915,56

47,76

-10.480,87

16.76

13,47

11,40

11,17

9,82

9,72

9.13

8,37

8,33

1,83

Total

928.175,29

928.175,29

0,00

100.00

Sumber : * Lampiran 14, ** Lampiran 17, ***Data hasil olahan

Pada tabel 4.20 di atas dapat dilihat bahwa regional share (R) tertinggi berada pada Kabupaten Kerinci yaitu sebesar Rp. 155.558,22 juta atau 16,76 % dari total nilai regional share semua kabupaten kota di Provinsi Jambi tahun 2001-2007. Sedangkan yang terendah yaitu Kota Jambi sebesar Rp 16.985,11 juta atau 1,83 %. Nilai regional share ini juga menunjukkan sumbangan/kontribusi sektor pertanian masing-masing kabupaten/kota terhadap sektor pertanian Provinsi Jambi. Dengan demikian dapat dilihat sumbangan sektor pertanian kabupaten/kota terhadap sektor pertanian Provinsi Jambi tahun 2001 dan 2007 berkisar antara 1,83 % - 16,76 % untuk masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi.

Tingginya regional share setiap daerah banyak dipengaruhi oleh tingginya salah satu atau sebagian besar regional share sub sektor pertanian. Sebagai contoh Kabupaten Kerinci, nilai regional share sektor pertaniannya banyak ditentukan oleh tingginya regional share sub sektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, dan peternakan dan hasil-hasilnya, yang masing-masing nilainya sebesar Rp 77.017,93 juta, Rp 62.619,18 juta, dan Rp 12.819,26 juta (lampiran 14). Demikian juga halnya dengan kabupaten/kota lain yang nilai regional share masing-masing sub sektor pertaniannya dapat dilihat pada lampiran 14.

Selanjutnya pada tabel 4.20 di atas juga dapat dilihat pergeseran yang terjadi yang dibuktikan dengan perbedaan antara nilai regional share dan pertumbuhan absolut. Selama periode 2001-2007 ada 4 kabupaten yang pertumbuhan absolutnya lebih besar daripada nilai regional share, yang berarti pertumbuhan sektor pertanian kabupaten yang bersangkutan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sektor pertanian nasional (Provinsi Jambi) yang ditandai dengan pergeseran (shift) positif. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah Kabupaten Kabupaten Kerinci, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, dan Muaro Jambi. Sedangkan 6 kabupaten/kota lain pertumbuhan sektor pertaniannnya lebih rendah daripada pertumbuhan sektor pertanian Provinsi Jambi yang ditandai dengan pergeseran (shift) negatif, yaitu Kabupaten Merangin, Sarolangun, Bungo, Tebo, Batang Hari, dan Kota Jambi.

4.4.2. Struktur Sektor Pertanian Regional (Proportionality Shift = P)

Komponen ini digunakan untuk mengidentifikasi apakah suatu daerah berspesialisasi pada sub sektor yang pertumbuhannya cepat secara nasional atau sebaliknya berkonsentrasi pada sub sektor pertanian yang pertumbuhannya lambat secara nasional. Untuk lebih memudahkan pengertian dari komponen tersebut terlebih dahulu dapat dilihat perbandingan antara nilai regional share dan pertumbuhan absolut sektor pertanian secara luas artinya untuk masing-masing sub sektor pertanian, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 4.21 berikut:

Tabel 4.21. Perbandingan nilai regional share dan pertumbuhan absolut menurut sub sektor pertanian di Provinsi Jambi tahun 2001-2007 (juta rupiah)

Sub Sektor

Regional share (Ri)*

Pertumbuhan Absolut (Yi)**

Keterangan Pertumbuhan

T. bhn makanan

T. perkebunan

Peternakan

Kehutanan

Perikanan

354.014,91

327.763,27

81.027,20

121.940,63

43.429,28

305.545,50

516.055,81

99.355,44

-103.146,12

110.364,66

Ri >Yi = lambat

Ri <Yi = cepat

Ri <Yi = cepat

Ri >Yi = lambat

Ri <Yi = cepat

Sumber : *Lampiran 14, **Lampiran 17

Dari tabel 4.21 di atas dapat dilihat bahwa ada 3 sub sektor yang secara nasional pertumbuhannya cepat, yang berarti untuk ketiga sub sektor tersebut dapat dipastikan mempunyai nilai proportionality shift positif. Tiga sub sektor tersebut adalah tanaman perkebunan, peternakan, dan perikanan. Sedangkan untuk sub sektor tanaman bahan makanan dan kehutanan mempunyai tingkat pertumbuhan yang lambat secara nasional yang berarti untuk sub sektor tersebut mempunyai nilai proportionality shift negatif.

Kesimpulan dari keterangan di atas bahwa untuk setiap kabupaten/kota yang berspesialisasi pada sub sektor tanaman perkebunan, peternakan, dan perikanan akan memiliki nilai proportionality shift sektor pertanian positif, dan sebaliknya bila berspesialisasi pada sub sektor tanaman bahan makanan dan kehutanan akan memiliki nilai proportionality shift sektor pertanian negatif. Berikut disajikan nilai proportionality shift sektor pertanian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi periode 2001-2007, sebagaimana yang terdapat dalam tabel 4.22.

Tabel 4.22. Nilai Proportionality Shift (P) sektor pertanian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi tahun 2001-2007 (juta rupiah)

No.

Kabupaten/Kota

Proportionality Shift (P)

Persentase P (%)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9

10.

Positif

Kerinci

Tanjung Jabung Timur

Tanjung Jabung Barat

Muaro Jambi

Batang Hari

Kota Jambi

Total

Negatif

Merangin

Bungo

Tebo

Sarolangun

Total

32.502,23

9.198,26

6.084,63

4.135,36

3.131,49

3.038,34

58.090,31

-37.802,12

-8.672,78

-6.314,38

-5,301.03

-58.090,31

55,95

15,83

10,47

7,12

5,39

5,23

100,00

65,07

14,93

10,87

9,13

100,00

Sumber : Lampiran 15

Dari tabel 4.22 di atas dapat dilihat bahwa dari hasil perhitungan proportionality shift untuk melihat struktur sektor pertanian regional masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi, selama periode 2001-2007 terdapat 6 kabupaten/kota yang memiliki proportionality shift positif, dan 4 kabupaten lainnya memiliki proportionality shift negatif. Berarti 6 kabupaten/kota tersebut memiliki sub sektor tanaman perkebunan, peternakan, dan perikanan yang lebih dominan daripada sub sektor tanaman bahan makanan dan kehutanan, sehingga dapat menutupi nilai proportionality shift negatif pada 2 sub sektor tersebut. Kabupaten/kota tersebut adalah Kabupaten Kerinci, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, Batang Hari, Muaro Jambi, dan Kota Jambi.

Nilai proportionality shift negatif pada Kabupaten Merangin terutama disebabkan oleh tingginya proportionality shift negatif sub sektor kehutanan (Rp -54.906,57 juta) disamping proportionality shift sub sektor tanaman bahan makanan yang juga negatif (Rp -7.444,20 juta). Demikian juga halnya dengan Kabupaten Bungo, Tebo, dan Sarolangun, dimana nilai proportionality shift ketiga kabupaten tersebut terutama disebabkan oleh tingginya nilai proportionality shift negatif sub sektor kehutanan disamping proportionality shift sub sektor tanaman bahan makanan yang juga negatif (nilai proportionality shift masing-masing sub sektor tersebut dapat dilihat pada lampiran 15).

4.4.3. Keunggulan Kompetitif/Keuntungan Lokasi (Differential Shift = D)

Komponen Shift-Share lainnya yaitu differential shift yaitu komponen pertumbuhan ekonomi daerah karena kondisi spesifik daerah yang bersifat kompetitif. Komponen ini juga menunjukkan perbedaan tingkat pertumbuhan sub sektor-sub sektor pertanian pada suatu daerah dengan tingkat pertumbuhan sub sektor yang sama pada tingkat nasional. Jika suatu daerah memiliki sub sektor yang pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan sub sektor yang sama pada tingkat nasional, maka daerah yang bersangkutan akan memperoleh nilai differential shift positif, dan sebaliknya, daerah yang memiliki pertumbuhan sub sektor lebih lambat daripada sub sektor yang sama pada tingkat nasional akan memiliki nilai differential shift negatif.

Dengan demikian dapat diidentifikasikan bahwa daerah yang memiliki differential shift sektor pertanian positif adalah daerah yang mempunyai keuntungan lokasi pada sektor pertanian dalam arti luas relatif lebih sempurna daripada daerah lainnya, artinya sebagian besar sub sektor pertanian daerah tersebut pertumbuhannya lebih cepat dari daerah lainnya atau tingkat nasionalnya, dan sebaliknya bila differential shift negatif.

Dari hasil perhitungan differential shift, dapat diketahui differential shift masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi, dimana selama periode 2001-2007 terdapat 3 kabupaten yang memiliki differential shift sektor pertanian positif, dan 7 kabupaten/kota lainnya memiliki nilai differential shift sektor pertanian negatif. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dari 10 kabupaten/kota di Provinsi Jambi hanya 3 kabupaten yang memiliki keunggulan kompetitif/memperoleh keuntungan lokasi pada semua atau sebagian besar sub sektor pertaniannya atau memperoleh keuntungan lokasi pada salah satu sub sektornya dengan pengaruh yang sangat dominan daripada sub sektor lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.23 berikut.

Tabel 4.23. Nilai Differential Shift (D) sektor pertanian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi tahun 2001-2007 (juta rupiah)

No.

Kabupaten/Kota

Differential Shift (D)

Persentase D (%)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9..

10.

Positif

Tanjung Jabung Timur

Tanjung Jabung Barat

Tebo

Total

Negatif

Merangin

Bungo

Sarolangun

Kota Jambi

Batang Hari

Kerinci

Muaro Jambi

Total

79.800,62

55.119,36

3.865,02

138.785,00

-51.095,10

-35.250,36

-19.604,35

-13.519,21

-11.047,05

-4.181,33

-4.087,60

-138.785,00

57,50

39,72

2,78

100,00

36,82

25,40

14,13

9,74

7,96

3,01

2,95

100,00

Sumber : Lampiran 16

Dari tabel diatas dapat dilihat hanya 3 kabupaten yang memiliki differential shift positif, yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, dan Tebo. Kabupaten yang memiliki differential shift positif terbesar adalah Kabupaten Tanjung Jabung Timur, disusul Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tebo. Besarnya differential shift positif sektor pertanian Kabupaten Tanjung Jabung Timur terutama didukung dari keuntungan lokasi pada sub sektor tanaman bahan makanan, perikanan, kehutanan, dan peternakan (lampiran 16). Hal ini ditandai dengan nilai differential shift keempat sub sektor tersebut positif, yang berarti keempat sub sektor tersebut di Kabupaten Tanjung Jabung Timur pertumbuhannya lebih cepat daripada kabupaten/kota lainnya atau Provinsi Jambi.

Kabupaten Tanjung Jabung Barat meperoleh keuntungan lokasi sektor pertanian terutama didukung dari keuntungan lokasi pada sub sektor tanaman perkebunan, tanaman bahan makanan dan peternakan, sehingga dapat menutupi differential shift negatif pada 2 sub sektor lainnya. Selanjutnya Kabupaten Tebo memperoleh keuntungan lokasi sektor pertanian karena pertumbuhan yang menonjol pada sub sektor kehutanan dan tanaman perkebunan, sehingga dapat menutupi nilai differential shift negatif pada 3 sub sektor lainnya (lampiran 16).

Selanjutnya untuk kabupaten/kota yang memiliki differential shift negatif selama periode analisa, dalam arti kata kabupaten/kota tersebut mengalami kerugian lokasi pada sebagian besar sub sektor pertaniannya. Yang berarti pada kabupaten/kota tersebut pertumbuhan sebagian besar sub sektor pertaniannya masih di bawah pertumbuhan sub sektor yang sama di Provinsi Jambi. Kabupaten/kota tersebut adalah Kabupaten Merangin, Bungo, Sarolangun, Kota Jambi, Kabupaten Batang Hari, Kerinci, dan Muaro Jambi.

Differential shift negatif sektor pertanian pada kabupaten merangin berasal dari kerugian lokasi pada sub sektor tanaman bahan makanan, kehutanan, perikanan, dan peternakan, yang tidak dapat ditutupi oleh keuntungan lokasi pada sub sektor tanaman perkebunan. Pada Kabupaten Bungo berasal dari kerugian lokasi sub sektor tanaman perkebunan, tanaman bahan makanan, peternakan, dan perikanan, yang tidak dapat ditutupi oleh keuntungan lokasi pada sub sektor kehutanan (lampiran 16).

Kerugian lokasi sektor pertanian pada Kabupaten Sarolangun disebabkan rendahnya nilai differential shift sub sektor tanaman perkebunan, perikanan, tanaman bahan makanan, dan kehutanan, yang tidak dapat ditutupi oleh keuntungan lokasi pada sub sektor peternakan dan hasil-hasilnya. Kota Jambi memiliki kerugian lokasi pada sektor pertanian disebabkan rendahnya nilai differential shift pada sub sektor tanaman bahan makanan, peternakan, dan perikanan (lampiran 16). Sedangkan untuk sub sektor tanaman perkebunan dan kehutanan, Kota Jambi tidak memperoleh pendapatan dari kedua sub sektor tersebut.

Kerugian lokasi sektor pertanian pada Kabupaten Batang Hari berasal dari kerugian lokasi pada sub sektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan dan perikanan, yang tidak dapat ditutupi oleh keuntungan lokasi pada sub sektor kehutanan. Kabupaten Kerinci berasal dari kerugian lokasi pada sub sektor tanaman perkebunan, perikanan, peternakan, dan kehutanan, yang tidak dapat ditutupi oleh keuntungan lokasi pada sub sektor tanaman bahan makanan. Sedangkan Kabupaten Muaro Jambi berasal dari kerugian lokasi pada sub sektor peternakan, perikanan, tanaman perkebunan, dan tanaman bahan makanan, yang tidak dapat ditutupi oleh keuntungan lokasi pada sub sektor kehutanan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dengan menggunakan analisis Location Quotient (LQ), selama periode 2001-2007 di Provinsi Jambi sektor pertanian basis pada 7 kabupaten, dimana rata-rata Location Quotient (LQ) sektor pertanian ketujuh kabupaten tersebut selama periode analisa lebih dari 1. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sektor pertanian secara luas memiliki keunggulan komparatif dan berpotensi untuk dikembangkan pada ketujuh kabupaten tersebut. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah:

a. Kabupaten Merangin, dengan sub sektor basis/berpotensi pada sub sektor kehutanan, tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan, dan perikanan;

b. Kabupaten Tebo, dengan sub sektor basis/berpotensi pada sub sektor kehutanan, peternakan, dan tanaman perkebunan;

c. Kabupaten Kerinci, dengan sub sektor basis/berpotensi pada sub sektor tanaman bahan makanan, peternakan, dan tanaman perkebunan;

d. Kabupaten Sarolangun, dengan sub sektor basis/berpotensi pada sub sektor peternakan, kehutanan, tanaman perkebunan, tanaman bahan makanan, dan perikanan;

e. Kabupaten Bungo, dengan sub sektor basis/berpotensi pada sub sektor kehutanan, peternakan, tanaman bahan makanan, dan tanaman perkebunan;

f. Kabupaten Batang Hari, dengan sub sektor basis/berpotensi pada sub sektor kehutanan, peternakan, perikanan, dan tanaman perkebunan;

g. Kabupaten Muaro Jambi, dengan sub sektor basis/berpotensi pada sub sektor kehutanan, perikanan, peternakan, dan tanaman perkebunan.

Selain 7 kabupaten tersebut, ada juga 2 kabupaten yang secara luas tidak memiliki sektor basis pertanian, akan tetapi memiliki bagian sub sektor yang berpotensi di daerahnya, dengan kata lain sub sektor yang bersangkutan basis pada daerah tersebut, yaitu

a. Kabupaten Tanjung Jabung Timur berpotensi pada sub sektor perikanan dan tanaman bahan makanan, artinya kedua sub sektor tersebut basis di Kabupaten Tanjung Jabung Timur;

b. Kabupaten Tanjung Jabung Barat berpotensi/basis pada sub sektor perikanan.

2. Sektor pertanian sebagai sektor basis memberikan dampak terhadap pendapatan wilayah yang memiliki sektor basis pertanian sebesar nilai Multipler Effect (MS) yang diperolehnya. Selama periode analisa (2001-2007) nilai Multiplier Effect (MS) tertinggi terdapat pada Kabupaten Muaro Jambi, kemudian disusul Kabupaten Batang Hari, Bungo, Sarolangun, Kerinci, Merangin, dan Tebo. Rata-rata perubahan pendapatan wilayah selama tahun 2001-2007 akibat dari perubahan pendapatan sektor basis (pertanian) tersebut pada Kabupaten Muaro Jambi adalah sebesar Rp 39.259,54 juta rupiah. Pada Kabupaten Batang Hari sebesar Rp 34.740,73 juta, Bungo sebesar Rp 22.255,90 juta, Sarolangun sebesar Rp 28.104,61 juta, Kerinci sebesar Rp 61.194,79 juta, Merangin sebesar Rp 10.825,69 juta, dan Tebo sebesar Rp 27.277,08 juta.

3. Dengan menggunakan pendekatan analisis Shift-Share untuk mengidentifikasiskan struktur pertumbuhan sektor pertanian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi, dinyatakan bahwa:

a. Pengaruh pertumbuhan sektor pertanian Provinsi Jambi adalah sangat dominan terhadap pertumbuhan sektor pertanian kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Kenyataan ini ditandai dari tingginya nilai komponen regional share pada 6 kabupaten/kota di Provinsi Jambi dibandingkan pertumbuhan abolutnya. Kabupaten/kota tersebut adalah Kabupaten Merangin, Sarolangun, Bungo, Tebo, Batang Hari, dan Kota Jambi. Sedangkan untuk 4 Kabupaten lain (Kerinci, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, dan Muaro Jambi) nilai regional share lebih rendah daripada pertumbuhan absolutnya;

b. Struktur sektor pertanian regional memberikan pengaruh positif pada 6 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Kerinci, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, Muaro Jambi, Batang Hari, dan Kota Jambi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa komposisi sub sektor pertanian kabupaten/kota tersebut berspesialisasi pada sub sektor-sub sektor pertanian yang pertumbuhannya cepat di Provinsi Jambi, yaitu sub sektor tanaman perkebunan, peternakan, dan perikanan. Sedangkan 4 kabupaten lain (Merangin, Bungo, Tebo, Sarolangun) tidak memperoleh manfaat dari struktur sektor pertaniannya, artinya komposisi sub sektor pertanian kabupaten tersebut berspesialisasi pada sub sektor-sub sektor pertanian yang pertumbuhannya lambat di Provinsi Jambi;

c. Keunggulan kompetitif/keuntungan lokasi sektor pertanian terdapat pada 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, dan Tebo. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sektor pertanian secara luas pada kabupaten tersebut pertumbuhannya lebih cepat daripada kabupaten/kota lainnya atau Provinsi Jambi, dengan kata lain ketiga kabupaten tersebut memiliki sub sektor-sub sektor pertanian yang pertumbuhannya lebih cepat daripada Provinsi Jambi relatif lebih sempurna daripada kabupaten/kota lainnya. Keuntungan lokasi sektor pertanian Kabupaten Tanjung Jabung Timur terutama didukung dari keuntungan lokasi pada sub sektor tanaman bahan makanan, perikanan, kehutanan, dan peternakan. Kabupaten Tanjung Jabung Barat didukung dari keuntungan lokasi pada sub sektor tanaman perkebunan, tanaman bahan makanan, dan peternakan. Sedangkan Kabupaten Tebo didukung dari keuntungan lokasi pada sub sektor kehutanan dan tanaman perkebunan.

5.2. Saran

1. Untuk lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah di Provinsi Jambi, maka diharapkan strategi yang diterapkan harus sesuai dengan potensi/kecenderungan yang dimiliki daerah yang bersangkutan. Dan perlu diingat bahwa potensi masing-masing daerah tersebut adalah tidak sama, maka kebijaksanaan/strategi yang diambil juga berbeda untuk masing-masing daerah dan juga tidak harus sama dengan tingkat nasionalnya.

2. Untuk lebih terlaksanannya berbagai kebijaksanaan yang dimaksud di atas, maka harus ada kerja sama yang padu dari setiap unsur baik pemerintah, swasta, maupun pelaku-pelaku ekonomi yang dalam hal ini adalah para petani dalam arti luas termasuk juga nelayan, peternak dan sebagainya, koperasi, dan BUMN/BUMD.

3. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya data yang digunakan lebih bervariasi dan lebih dipertajam lagi seperti data tenaga kerja, pendapatan per kapita dan atau data komoditas per sub sektor dan penganalisaan hendaknya dilakukan dengan series data yang lebih panjang agar memberikan hasil lain yang lebih baik dan dalam pembahasan lebih memperlihatkan perubahan-perubahan pada nilai Location Quotient (LQ), Multiplier Effect (MS), dan komponen-komponen Shift-Share yang lebih memuaskan.